PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Rabu, 12 Agustus 2009

Mengubah Nasib dengan Pendidikan (1-5)

Keluarga H. Handi Junaedi
dimuat Galamedia 6-10 Agustus 2009

Mengubah Nasib dengan Pendidikan (1)
Galamedia, Kamis 06 Agustus 2009

Anakku, Jangan Mengasong di Kereta Api! (1)

KISAH Pak H. Handi Junaedi, seorang pemangkas rambut tradisional ini, cukup inspiratif. Khususnya perjuangannya dalam memberi pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam keterbatasan finansial, ia berhasil menyekolahkan 8 anaknya tanpa putus sehingga lahir beberapa orang doktor, lulusan magister, juga sarjana. Hampir semua keluarga anaknya bisa menunaikan ibadah haji, termasuk dirinya dan istri. Apa dan bagaimana kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


PENDIDIKAN adalah barang mahal di kampungku. Kebiasaan di lingkunganku, hampir semua anak sebayaku menjadi pedagang erteh sejak SD. Erteh ini singkatan dari air teh yang diberi gula mirip teh botolan. Tak heran ketika bel sekolah berbunyi, hampir semua anak berlarian mengambil barang dagangannya, yaitu erteh, sambil menuju stasiun kereta api Pagaden. Banyaknya kereta api yang singgah di stasiun menjadi lahan rezeki bagi mereka. Berdagang erteh merupakan batu loncatan untuk meniti karier selanjutnya di kereta api. Karier tersebut adalah berdagang asongan, seperti rokok, tisu, pecel, ketan bakar atau kopi hangat. Jika musim buah-buahan, mereka pun menjajakan buah mangga, rambutan, dukuh, dan sebagainya.

Dengan berdagang sejak belia, kawan-kawanku pun mengerti arti dan nilai uang sejak belia. Kehidupan di stasiun yang menawarkan sejumlah materi pun ternyata membuat semangat belajar menurun. Kawan-kawan sebayaku lebih tertarik dengan uang recehan dibanding membicarakan matematika atau latihan Pramuka. Hal itu yang membuat tingkat pendidikan mereka tak lebih dari SD, karena lebih memilih menjadi pedagang asongan di kereta. Semakin jauh mengasong dari stasiun Pagaden, seperti ke Jakarta atau Cirebon, maka ia akan semakin disegani rekan-rekannya.

Sayangnya, kehidupan di sekitar stasiun dikenal ketat, keras, dan terkadang liar. Wajah seram dan garang preman, juga pedagang asongan, bercampur dengan pengamen dan pengemis. Sungguh pemandangan yang membuat hati berdebar-debar. Sambil menunggu kereta api, kegiatan yang mereka lakukan adalah main kartu. Bahkan seringkali hingga mengabaikan waktu dan dibumbui taruhan. Jahatnya, hasil usaha seharian untuk anak istri bisa ludes digunakan berjudi. Pemandangan lain kerap dijumpai, hampir setiap sore sejumlah pemuda hanyut dalam pesta minuman keras. Kekerasan, perkelahian, dan tawuran pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam aktivitas tersebut.

Kerasnya kehidupan sebagai pedagang asongan ini dialami Pak Handi semasa muda. Dan insiden jatuh dari kereta api yang membuatnya terluka, mendorongnya untuk menjadi tukang cukur seperti profesi ayahnya. Tapi pengalaman dan kehidupan di stasiun yang keras, membuatnya berpikir ulang untuk mengizinkan anak-anaknya mengais rezeki di antara desakan penumpang dan penatnya gerbong kereta api. Meski hanya lulusan sekolah rakyat (SR) tanpa memiliki properti selain rumah bilik yang dihuninya, namun Pak Handi mampu berpikir jauh ke depan. Ia bertekad menyekolahkan anak-anaknya semaksimal mungkin. Salah satu tujuannya, mengubah nasib keluarga. Optimisme itu ditunjukkan dengan antusiasmenya saat menemani sang anak di hari pertama sekolahnya. Pesannya pada sang anak, "Dengan pendidikan, nasib seseorang dan keluarganya bakal berubah, termasuk bangsanya". Itulah petuah yang berhasil membakar semangat belajar anak-anaknya. Sebuah cita-cita yang dinilai nyeleneh di kampungnya saat itu. Tempat di mana hampir semua remaja di sana mulai meniti kariernya berdagang di kereta api dan menikah di usia muda. Tapi Pak Handi dan sang istri mendoakan yang sebaliknya untuk para buah hatinya. "Jangan jadikan anak-anak kami berdagang asongan di kereta api..." batinnya. (bersambung ke bagian 2)**


Galamedia, Jumat, 07 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (2)

Melewati Pilihan Dilematis

SEJAK tahun 1968, anak pertama Pak Handi masuk madrasah ibdtidaiah di kampungnya. Disusul anak keduanya di sekolah yang sama. Sekolah setingkat sekolah dasar itulah yang ada di kampungnya saat itu. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


BEGITU pun yang ketiga dan keempat, mereka menuntut ilmu di sana hingga semuanya melanjutkan ke madrasah tsanawiyah. Ada satu hal yang janggal dengan keluarga Pak Handi dibandingkan umumnya masyarakat saat itu. Anak-anak Pak Handi tidak terbawa hanyut bersama kawan-kawannya menjajakan erteh di stasiun. Meskipun diiming-imingi gemerincing uang, hal itu tidak memancing hati untuk turut berdagang. Mereka tidak pula terbawa kebiasaan menikah di usia belia. Aktivitas sekolah dan kegiatan ekskul mampu mengalihkan perhatian untuk memiliki pacar.

Dalam menyiasati hidup, Bu Handi sesekali menerima jahitan dari tetangganya tanpa tarif alias seikhlasnya. Lumayan untuk membantu menambah biaya hidup sehari-hari. Kalau ada lebihnya, disiapkan untuk biaya SPP anak-anaknya.

Untuk menyiasati risiko sehari-hari, Bu Handi membuat sayur dengan kuah yang diperbanyak. Kedua, menu yang dipilih bukan kesukaan salah satu anaknya, melainkan kesukaan semuanya. Tak jarang cukup ditambah dengan cengek diulek dengan garam, makanan pun bercitarasa. Dalam hal keperluan sandang, baju dijahit sendiri. Yang penting cocok dipakai dalam segala suasana, pagi, sore ataupun malam. Ini salah satu cara menghemat keperluan sandang.

Dalam menyekolahkan anak-anaknya penuh romantika, penuh suka dan duka. Terlambat membayar iuran atau SPP kerap dialami anak-anaknya. Tak heran ada beberapa anaknya yang harus berjemur dulu menunggu sekitar 15 menit saat akan ikut ulangan sebagai sanksi terlambat membayar uang bangunan atau SPP. Keterbatasan itu juga membuatnya berhadapan dengan pilihan yang dilematis. (bersambung ke bagian 3)**

Galamedia, Sabtu, 08 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (3)

Sekolahlah Sampai Mentok

"KAU boleh sekolah sampai mentok!" Begitu kata Pak Handi saat dimintai pendapatnya ketika anak pertamanya akan ikut Sipenmaru pada 1981. Sebelumnya Pak Handi menginginkan anaknya segera menikmati buah usahanya yakni menjadi guru SD. Bagaimana kisah selengkapnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.
TEKAD keras anaknya untuk mencoba Sipenmaru meluluhkan hati Pak Handi. Namun sekolah sampai mentok yang dimaksud Pak Handi jelas bukan program doktoral (S3) sebagai jenjang pendidikan tertinggi, tapi mentok dalam arti biaya. Ketakutan akan biaya kuliah, mungkin ungkapan polos dan spontan yang meluncur dari bibir Pak Handi. Ibarat baterai kalau energinya habis, ya sudah tamat alias sampai di sana kisah kuliah anaknya, meski gagal sebelum menyentuh finis.


Cita-cita Didi, anak Pak Handi yang saat itu ingin kuliah adalah sebuah cita-cita tak lazim. Hampir seluruh kawannya mengabdi menjadi guru SD selulus SPG. Menjadi guru SD di kampung dengan istri yang juga seorang guru cukup membahagiakan. Punya gaji dengan rumah yang ada kolam ikannya, kebun bunga dan sayuran serta binatang peliharaan, hidup tenteram. Tapi rasa penasaran mencoba potensi diri ikut Sipenmaru lebih kuat. Ditambah ia pun memiliki beasiswa Pikiran Rakyat semasa di SPG. Didi memang peraih juara ketiga siswa teladan tingkat SLTA se-Jabar tahun 1980 dan berhak mendapatkan beasiswa Pikiran Rakyat selama satu tahun.

Tapi untuk itu ia harus menghadapi tantangan, hambatan, dan sikap skeptis warga di lingkungannya. Keinginan Didi untuk kuliah hanya menjadi bahan olok-olok tetangganya. "Emangnya punya duit berapa si Handi? Untuk makan anak-anaknya saja sulit!", "Kalau mau kuliah harus punya modal 3D (duit, dulur, dekat)!", "Apa mampu anak miskin hidup di kota besar", dll. Menyakitkan. Beruntung Didi cukup tegar. Ia mampu menepis semua itu dengan aktivitas di kampusnya dan berprestasi.

Menurut Didi, saat kos di daerah Negla, ibunya selalu memberinya bekal tempe kering yang dimasak bersama kacang dan teri sebagai menu untuk satu bulan. Jarang sekali ia membeli nasi bungkus atau makanan instan seperti mi. Ia biasa menanak atau membuat nasi liwet. Berasnya dibawa dari kampung, satu karung terigu penuh.

Rupanya Allah SWT memberi jalan. Didi terpilih menjadi Ketua Hima. Saat itu Hima Bahasa Inggris mengadakan kegiatan semacam bazar dan ternyata rugi hampir Rp 2 juta. Tapi kerugian ini ternyata membuka potensi luar biasa dirinya. Karena untuk membayar kerugian itu, seluruh mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek menerjemahkan modul-modul bahasa Inggris oleh dosennya. Dan tak lebih dari 5 orang yang pekerjaannya terpakai, termasuk Didi. Tentu saja ini dapat menambah uang sakunya.

Selepas D3 harusnya seluruh mahasiswa ikatan dinas diwajibkan mengajar di SMP di berbagai pelosok daerah, jika ingin melanjutkan ke S1. Tetapi tidak bagi Didi. Ia memperoleh nilai tertinggi di kelasnya dan masuk kategori boleh melanjutkan tanpa harus mengajar dulu di SMP. Tahun 1986, ia lulus S1 dan langsung mengabdikan diri di almamaternya, IKIP Bandung. Ucapan Pak Handi boleh sekolah hingga mentok benar-benar menjadi kenyataan, dengan diraihnya gelar doktor (S3) pada tahun 2006 di Gedung Partere Isola UPI dan tak lama, gelar profesor pun diraih dalam usia relatif muda 46 tahun. (bersambung ke bagian 4)**


Galamedia, Minggu, 09 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (4)

Memilih Perguruan Tinggi Berstatus Negeri

MEMILIH perguruan tinggi negeri (PTN), itulah salah satu hal yang dilakukan Pak Handi dalam menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Dengan memilih PTN, biayanya lebih murah karena disubsidi pemerintah. Selain itu, mudah mendapat beasiswa dan berbagai fasilitas tersedia, seperti dosen, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain dijamin lengkap. Seakan menjadi aturan tidak tertulis, anak-anaknya harus kuliah di perguruan tinggi negeri. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya berikut ini.
Kisah satu putranya karya penulis di satu media cetak propinsi


UNTUK masuk PTN harus melalui ujian saringan masuk yang dipersiapkan melalui belajar yang sungguh-sungguh. Tanpa belajar yang baik dan tekun, kecil kemungkinan bisa berhasil. Apalagi persaingannya sangat ketat. Satu hal yang harus dicatat, anak-anak Pak Handi diterima di PTN tanpa satu pun yang mengikuti les privat atau bimbingan belajar.

Resepnya antara lain mempelajari soal-soal bekas ujian masuk PTN, baik dengan memfoto kopi, meminjam atau membeli buku pembahasan soal-soal untuk latihan. Lalu, memahami bentuk dan karakter soal, karena soal-soal selalu berulang dari tahun ke tahun. Caranya kerjakanlah soal sampai muncul jawabannya. Hal itu tentu saja harus dibarengi dengan belajar giat dan berdoa.

Di bangku kuliah, selain mencari ilmu pengetahuan, juga aktif di beberapa unit kegiatan. Ini sangat membantu memperoleh wawasan, pengalaman, atau relasi pergaulan yang luas. Di samping itu dapat dijadikan media mengasah dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Cara ini berkaitan erat dengan kompetisi dalam memperoleh pekerjaan setelah lulus nanti. Manfaatkanlah kampus untuk melatih dan mengembangkan talenta kita.

Untuk urusan biaya kuliah, anak-anak Pak Handi kreatif mencari pembiayaan sendiri karena kiriman orangtua tak bisa diandalkan sepenuhnya. Tak heran anak-anaknya menyambi jadi tenaga honorer di sekolah, berjualan kerudung, buku, atau memberi les privat door to door. Sebagai anak dari keluarga tidak mampu, mereka tidak sungkan meminta bantuan biaya pendidikan berupa beasiswa. Di PTN, beasiswa cukup banyak, terutama bagi yang memerlukan. Sayang kalau niat baik pemerintah dan perusahaan swasta ini dilewatkan begitu saja. Dengan mengurus proses pengajuan beasiswa dan telah memenuhi sejumlah persyaratan, akhirnya beasiswa seperti TID (Tunjangan Ikatan Dinas), Supersemar, PPA (Peningkatan Prestasi Akademik), PT Tifico, HU Pikiran Rakyat didapat. Beberapa mahasiswa sering enggan mengurus persyaratan administratif perihal keterangan penghasilan atau domisili orangtua. Padahal, beasiswa sangat membantu dalam menempuh studi selanjutnya.

Kisah sang IBU, karya penulis di suatu majalah kota kembang amat inspiratif

Menikmati dan menghadiri acara wisuda tentu sangat membahagiakan bagi Pak Handi dan Bu Handi. Hampir seluruh PTN di Bandung, seperti IKIP, Unpad, ITB, dan IAIN SGD mengundangnya sebagai tamu civitas akademika saat wisuda anak-anaknya. Termasuk di STAN/Prodipkeu Jakarta tahun 1996. Undangan wisuda pun makin istimewa saat Didi dan Siti dikukuhkan sebagai doktor (S3) pada tahun 2006 dan 2007 oleh Rektor UPI, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata. Tradisi wisuda dilanjutkan cucu Pak Handi dan Bu Handi. Sungguh momentum yang indah dan membahagiakan. (bersambung)**

Galamedia, Senin, 10 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (5)

Tukang Cukur Tradisional itu Jadi Tamu Allah
BISA berziarah ke Tanah Suci adalah impian umat muslim. Di kampungku, orang yang berangkat haji biasanya juragan beras atau pemilik toko material alias orang kaya. Bagi orang-orang kurang mampu atau pas-pasan, bermimpi pun rasanya tidak pede. Tapi tidak bagi Pak Handi, ia selalu berdoa di keheningan malam untuk bisa diberi kesempatan menunaikan Rukun Islam yang kelima itu. Bagaimana kelanjutan kisah Pak Handi? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

SEORANG tukang cukur tradisional dengan beban 8 anak yang harus diberi makan, disekolahkan, dan diberi baju, bermimpi ke Tanah Suci, di mata tetangganya sesuatu hal yang mustahil, baik secara logika maupun matematis. Bahkan mereka menyindirnya sebagai pungguk merindukan bulan.

Tetapi tidak bagi Allah SWT. Apa pun yang dikehendaki-Nya, kun fayakun, jadi maka jadilah. Setelah tiga keluarga anaknya lebih dulu menunaikan ibadah haji, di awal tahun 2005 bersama keluarga anaknya yang keenam, Pak Handi menyusul memenuhi panggilan sebagai tamu Allah SWT. Tentu ini karunia yang luar biasa. Rahmat dan kenikmatan diberikan Allah SWT pada hamba yang dikehendaki-Nya.

Untuk urusan ONH, Pak Handi tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Untuk memberangkatkan Pak Handi dan istrinya, anak-anaknya berinisiatif menyodorkan sirkulir secara sukarela dan terkumpul dana yang cukup untuk ONH berdua. Dengan cara ini, besar atau kecil, semuanya bisa berpartisipasi. Di Tanah Suci pun, Pak Handi merasa nyaman, karena ditemani keluarga Ade M., anaknya. Sepulang dari Tanah Suci, Pak Handi mendapat nama haji, Haji Abdurahman dan istrinya, Hajjah Uswatun Hasanah. Kemudian disusul keluarga anaknya yang ketujuh di tahun 2006 dan insya Allah disusul yang lainnya.

Pak Handi dan istrinya serta seorang mantu di Tanah Suci

Keluarga Pak H. Handi telah memberi warna dalam kehidupan. Niat tulus dan tekad yang dibarengi usaha serta doa telah mengubah kehidupan Pak Handi sekeluarga. Hal itu sesuai dengan rumus kehidupan bahwa kalau mau hidup sejahtera maka genggamlah pendidikan, karena dengan pendidikanlah orang menjadi cerdas dan beradab.

Hal ini memotivasi tetangga dan kerabat di kampungnya untuk berupaya menyekolahkan anak-anaknya. Tidak lagi sebatas imbauan pemerintah dalam wajardiknas sebatas lulus SD atau SMP, tapi lebih dari itu. Bila dulu anak-anak sejak remaja diarahkan untuk berdagang asongan di kereta api dan menikah di usia belia, kini mereka sudah terpacu oleh semangat dan keberhasilan Pak Handi. Di antara delapan saudara Pak Handi kini telah lahir 3 orang akademisi atau sarjana.

Pesan di atas pun dapat ditimba pembaca, keterbatasan dan kekurangan ternyata tidak membuat kita harus patah semangat dan menyesali kehidupan. Tapi dengan optimisme dan usaha sungguh-sungguh disertai doa, niscaya Allah SWT akan memberi jalan terbaik. Anak-anak Pak H. Handi kini telah bekerja di berbagai instansi dan profesi. Mereka adalah Prof. Dr. H. Didi Suherdi, M.Ed.; Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd.; Pupu Marfuah; Dra. Hj. Yani Maryani; Dadan Wahyudin, S.Pt ; H. Ade Muhtar, M.M.; Hj. Tati, S.T.; dan Lina M., S.P. Di usianya yang mencapai 64 tahun, Pak H. Handi memilih pensiun dari profesinya sebagai tukang cukur. Kegiatan mencukur kini hanya dilakukannya pada anak dan cucu-cucunya. Waktunya lebih banyak dicurahkan untuk menemani cucu-cucunya yang mencapai 38 orang. Kini ia tinggal di Hegarmanah Melongasih Cimahi. (tamat)**

Penulis, Dadan Wahyudin

Sumber : Harian Galamedia 6-10 Agustus 2009 dan situs : http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?wartakode=20090806112531&idkolom=kisah

Kisah Sukses: H. Handi Junaedi: 7 dari 8 Anaknya Sarjana


Artikel versi Cetak, dengan tokoh AYAH, diminta khusus  untuk Majalah KISAH Vol III Juni 2007
 
Oleh: Dadan Wahyudin

Dimuat di Majalah Kisah - Intisari (Gramedia) Volume III Edisi Juni 2007 hal 112-119.

H. Handi Junaedi (65) hampir 40 tahun menjadi tukang cukur tradisional. Namun, ia mampu memberi pendidikan anak-anaknya secara layak. Berkat kegigihannya, dua anaknya meraih gelar doktor (S3), seorang lulusan program magister (S2), empat orang sarjana (S1) dan seorang lagi tamat SLTA. Tak cuma itu, ia, isterinya dan anak menantunya bisa menunaikan ibadah haji, ibadah yang hampir mustahil bagi seorang tukang cukur tradisional.

Kios cukur Pak handi - begitu sapaan akrab H. Handi Juaedi, bukanlah seperti barbershop atau salon yang dipenuhi peralatan canggih dan serba nyaman. Kios itu cuma terbuat dari bilik bambu beratapkan seng. Semilir angin di bawah pohon kersen seakan menjadi AC penyejuk bagi konsumen yang dilanda kegerahan. Dengan berjalannya waktu, kios itu dibuat semi permanen dengan menggunakan batu bata. Di sanalah tersimpan sejuta kisah perjuangan Pak Handi menyekolahkan delapan anaknya tanpa putus.

Pak Handi lahir di Pagaden - Subang, Jawa Barat, 1 Maret 1942, tepat saat bala tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau Jawa. Ia lahir dari keluarga buruh tani yang mengandalkan penghasilannya dari sawah orang lain. Ketika usianya beranjak remaja, sang ayah meninggal dunia. Sebagai lelaki tertua dari delapan saudara, praktis bersama ibunya terlibat dalam membimbing, mengasuh, menjadi tumpuan hidup adik-adiknya. Handi muda menjadi terbiasa menyelesaikan permasalahan keluarga umumnya, mengatasi perselisihan, memberi nasihat, serta praktis mengambil peran dan tanggung jawan ayahnya.

Pendidikan formal Pak Handi kala itu terabaikan. Ia mengeyam pendidikan formal hanya sampai kelas 4 Sekolah Rakyat (kini SD). "Maklum situasi zaman itu memang tak menguntungkan. Sekolah merupakan barang mewah" katanya. Bermodalkan pendidikan terbatas itu, yang membuatnya mampu membaca, menulis dan berhitung dengan lancar, ia berusaha mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya.

Menabung sembunyi-sembunyi

Mengasong di Stasiun Kereta api Pagadenbaru setelah menikah Suaebah (biasa dipanggil Ibu Ae) pada tanggal 24 Februari 1960 boleh dikatakan sebagai awal dari hidupnya. Pasangan Pak Handi-Ibu Ae menetap di Kampung Sukajaya Desa Sukamulya Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, Jawa Barat, tak jauh dari stasiun kereta api Pagadenbaru. Di stasiun tersebut ia menjajakan barang dagangannya hingga larut malam demi rezeki untuk satu liter dua liter beras yang ditunggu anak isterinya di rumah. Rutinitas "mengawal'" kereta api berakhir tatkala ia terjatuh ke sawah saat kereta sedang melaju. Ia menderita luka cukup parah. Peristiwa inilah yang membuatnya beralih profesi menjadi tukang cukur. Ia memilih mangkal menempati petak kios di pinggir stasiun.

Pak Handi melakoni profesi tersebut hingga anaknya mencapai delapan orang. Penghasilan sehari-hari sebagai tukang cukur, kalau dihitung secara matematis, tentu tidak memadai. Namun hidup ternyata bukan hitungan matematika bersifat mutlak. Ada nilai "barokah" yang sulit diukur perhitungan finansial. Meski, penghasilan Pak Handi di bawah kebutuhan. Toh, ia dan keluarganya tetap hidup dan berkembang.

Sebagai "menteri keuangan" keluarga, Ibu Ae sedemikian rupa mengatur keuangan keluarga. Bisa melewati satu hari saja, rasanya sudah bersyukur. Untuk esok hari, ya harap-harap cemas menanti usaha (rezeki) yang dibawa suami. Supaya hemat, ia menyiasati dengan memasak yang disukai semua anggota keluarga. Bukan standar selera suami atau salah satu anaknya. Untuk makan seluruh anggota keluarga, ia sudah terbiasa memasak sayur asam satu wajan besar dengan sambal goang (sambal cuma terdiri atas cabai rawit dan garam). Atau sayur kangkung dengan banyak kuah dan kerupuk. Dengan makanan seperti itu semua anggota keluarganya biasanya cukup menikmatinya. Hemmh...

Profil sang IBU, tujuh halaman, karya penulis  dimuat di media cetak Bandung

Ibu Ae juga suka menjahit. Kalau menjahit baju untuk anak-anaknya, ia memilihkan model baju yang bisa dipakai pagi hari, juga sore hari.. Ini juga menjadi cara Ibu Ae menghemat pengeluaran untuk keperluan sandang.

Tahun 1968, pasangan Pak Handi-Ibu Ae mulai menyekolahkan anak-anaknya. Meski bukan sekolah swasta, biaya untuk keperluan sekolah lumayan besar untuk ukuran mereka. Seperti untuk membeli buku, seragam, sepatu, dsb. Karenanya, selain menjadi tukang cukur, Pak Handi juga berusaha berdagang keliling kampung sepulang dari kios cukur. Ia mengambil barang dagangan dari grosir di pasar Pagaden untuk dijual kepada ibu-ibu di kampung Peundeuy, Bakan Kopi, Salagedang hingga Parigi. Di hari Rabu dan Sabtu ia berkeliling kembali menagih pembayaran barang-barang yang dikreditkan. Dari uang tagihan inilah, ia kemudian membayar barang di grosir dan mendapatkan untung dari selisih harganya.

Sayang, kios cukur Pak Handi tahun 1993 terkena Proyek pelebaran jalan ke Pasar Inpres. "Saya lalu mendirikan kios di lahan milik PU selama tiga tahun namun kembali dipakai si empunya tanah hingga akhirnya mengambil ruang depan rumah," tukasnya lirih.

Artikel inspiratif sang anak, karya penulis di sebuah majalah

Satu gaya hidup Pak Handi yang patut diacungi jempol, meskipun penghasilan pas-pasan, ia selalu memerlukan menabung. Jangan menyangka di BPR atau Bank. Pak Handi selama hidupnya tak kenal bank. Itu pula yang membuat hidupnya bersahaja. Ia menaruh uang tabungan di tempat-tempat yang tidak mencurigakan, seperti bekas pasta gigi, palang pintu, atau kardus bekas. Tabungan itu biasanya dibuka ketika ia membutuhkan biaya yang tidak bisa dipenuhi dari pendapatan sehari-hari.

Semula, keluarga tidak mengetahui kebiasaan itu. Namun, ada perilaku Pak Handi yang membuat keluarganya curiga. Ketika disodori kebutuhan biaya cukup besar, SPP atau iuran sekolah misalnya, ia segera menghilang sebentar. Ia kemudian muncul kembali dengan sejumlah uang. Suatu ketika upaya "menghilangkan diri" dilakukannya tercium oleh penulis. Setelah diintip woow....ternyata ia sedang asyik membongkar celengan rahasianya. Kalau kepergok seperti itu Pak Handi cuma tersenyum. Namun, kali berikutnya ia tidak akan menabung dalam tempat yang sama.

Jika ada kebetulan rezeki lebih, Pak Handi menginvestasikan dengan cara membeli seekor domba untuk digembalakan anaknya. Mungkin domba itu mirip deposito bisa berkembang biak dan ATM bisa ditarik tunai alias dijual. Ia akan menjual investasi itu saat membutuhkan uang segera seperti menjelang tahun ajaran baru, saat ada anaknya yang naik jenjang sekolah.

Terlambat membayar SPP atau iuran lainnya sudah menjadi langganan anak-anak Pak Handi. Bukan sengaja atau abai, namun semata-mata karena Pak Handi belum mampu membayar. Tak heran, seperti dialami penulis sering harus "berjemur" dulu sekitar 15 menit di lapangan olahraga, hanya karena belum melunasi iuran uang ulangan atau bangunan. Sementara siswa lain tengah asyik mengikuti ulangan umum.

Dalam keterbatasan Pak Handi dan Ibu Ae terus berupaya mendidik anak. Si anak pun tak patah semangat. Buktinya, anak-anak mereka mencapai prestasi membanggakan. Tahun 1980, anak pertama Pak Handi, Didi Suherdi (saat itu duduk di SPGN Subang) terpilih sebagai Siswa Teladan III Tingkat SLTA se-Jawa Barat dan berhak atas beasiswa Pikiran Rakyat selama setahun. Didi juga pernah meraih predikat mahasiswa teladan se-IKIP Bandung. Sementara Tati Rahmayati (anak ketujuh) saat duduk di SMAN 4 Bandung (1995) keluar sebagai Juara Harapan I Lomba Astra Kimia se-Jabar dan DKI Jakarta yang memuluskannya masuk Teknik Kimia ITB.

Kios Nyaris Dijual

Dalam keterbatasan finansial, Pak Handi sering menghadapi persoalan-persoalan dilematis. Misalnya, di tahun 1982, anak kedua Siti Maryam baru saja lulus SPGN Subang dan diterima di Program D3 Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung. Sebelumnya kakaknya, Didi diterima di Program D3 Bahasa dan Sastra Inggris perguruan tinggi yang sama. Meski Didi mampu membiayai pendidikan dengan beasiswa dan memberi privat dan menerjemahkan, toh Pak Handi tetap menghadapi kesulitan membiayai Siti kuliah.

Kondisi itu pula membuatnya gundah. Batinnya tergetar, semua serba dilematis. Kedua pilihan cukup pahit dan pilihan kuliah terlalu sayang bila harus diabaikan. Padahal masuk PTN bagi kebanyakan siswa saat itu amatlah sulit. Suatu ketika Pak Handi mengutarakan niatnya berbincang dengan anaknya dari hati ke hati.

"Siti, kakakmu tahun lalu masuk IKIP dan membutuhkan biaya besar. Ke depannya juga belum jelas. Bagaimana kalau kuliahmu bisa ditunda dulu atau Ayah harus menjual kios. Mudah-mudahan uangnya cukup untuk bekal kuliah di Bandung untuk beberapa hari ke depan,"
ucap Pak Handi dengan bibir tergetar.

Dr. Hj. Siti M, M.Pd (kanan) dalam berita HU Pikiran Rakyat

Namun, apa reaksi Siti? Ternyata Siti seorang remaja bijak yang jauh dari sikap egois. Dengan santun, ia memaparkan bahwa merasa keberatan atas rencana sang Ayah menjual kiosnya. Ia memilih lebih baik batal kuliah daripada ayahnya menjual satu-satunya sumber mata pencaharian, di mana ibu dan tujuh saudara lain tentu bergantung dari kios itu, tempat ayahnya mencari nafkah.

Rupanya Tuhan melihat kesulitan Pak Handi. Tanpa ia duga, ada kerabatnya meminjamkan uang secara lunak tanpa harus menjual kios, Siti pun bisa kuliah. Pada akhirnya, keduanya mendapat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan cukup membantu biaya kuliah selanjutnya.

Kesulitan lain menguras pikiran terasa di tahun 1992. Saat itu, tiga anaknya harus naik jenjang sekolah, Lina Marlina (anak kedelapan) dari SD ke SMP, Tati Rahmayati (anak ketujuh) dari SMP ke SMA dan Ade Muhtar dari SMA ke perguruan tinggi. Dua anak lainnya Yani M. (anak keempat) dan Dadan Wahyudin (anak kelima) harus registrasi kuliah bulan itu juga. Untungnya, Pak Handi punya kebiasaan mengikuti arisan di tetangganya. Dengan minta menarik arisan terlebih dahulu (ditukar) biaya siswa baru dapat tertutupi termasuk biaya kuliah anak lain berkat cairnya rapel beasiswa mereka.

Begitu pun Ade, meski diterima di Jurusan Farmasi ITB, Tuhan mengantarkannya ke sekolah yang tanpa mengeluarkan uang kuliah yakni STAN Jakarta. Di Jakarta, Ade M pun bertempat tinggal di keluarga yang baru dikenalnya. Dengan baik hati, sang empunya kos bisa dibayar kalau Pak Handi sudah memiliki uang untuk membayarnya. Sungguh bukti kebesaran Tuhan Yang Mahakuasa.

Begitu seterusnya, setiap kali Pak Handi menghadapi kesulitan biaya selalu pula ada jalan keluarnya. Itu tak lain dari kebiasaan dirinya selalu berdoa untuk bangun malam di sepertiga malam akhir.

Ketiga putra Pak Handi bersama guru besar Jepang, Prof. Dr, Mikihiro Moriyama dalam suatu seminar internasional. Dokumen diambil dari Majalah Suara Daerah PGRI Jawa Barat.

Kini, kedelapan anaknya sudah menyelesaikan pendidikannya dan bekerja. Prof. Dr. H. Didi Suherdi, M.Ed menyelesaikan pendidikan di IKIP (1986) kemudian dilanjutkan mengambil magister di Universitas Melbourne, Australia (1994) dan S3 di UPI Bandung kini bertugas di almamaternya sebagai dosen di FPBS UPI Bandung. Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd menyelesaikan S1, S2 dan lulus S3 (2007) di IKIP/UPI Bandung, sejak begitu lulus sarjana diterima sebagai PNS di lingkungan Kopertis Wilayah IV dan kini bertugas di Progpas S2/FKIP Universitas Suryakancana Cianjur. Dra. Yani M. alumnus IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai PNS di Subang, Dadan Wahyudin, S.Pt lulus Fakultas Peternakan Unpad Bandung tahun 1996 bekerja  sebagai praktisi peternakan dan menyambi sebagai jurnalis lepas, Tati Rahmayati, ST lulus sarjana di Jurusan Teknik Kimia - FTI ITB (2000) sebelumnya bekerja di Mental Aritmetika Internasional. H. Ade Muhtar, MM alumnus STAN Jakarta dan menyelesaikan program S2 di Universitas Bhayangkara Jakarta, kini menjadi PNS di KPP Kebonjeruk, Jakarta. Elin Marlina, SP lulus Fakultas Pertanian Unpad Bandung (2003) sekarang berprofesi guru. Terakhir Upu M. tamat SLTA kini tertarik berwiraswasta, menjadi juragan kelontong di pasar.

Sukses itu tentu tak lepas dari peran Hj. Suaebah. Ibu Ae selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak-anaknya ketika masih kecil. Kalau ada yang kehilangan sesuatu, ia tidak pernah sekalipun menyebut apalagi menuduh mencuri. Paling-paling ia mengingatkan, "Ah, barangkali lupa tempat menaruhnya."

Ibu Ae juga menanamkan nilai keagamaan, norma, dan moral pada semua anaknya. Menjelang tidur, dengan penuh kasih sayang, nilai-nilai keteladanan, perjuangan, dan optimisme diberikan dengan memberi cerita kisah teladan dari para Nabi dan orang-orang Saleh. Tak terlewatkan cerita tokoh-tokoh besar nasional dan dunia banyak terlahir dari kalangan jelata. Pesan kepada anak-anaknya, "Mereka bukan saja mampu mengubah nasib dirinya, tapi juga nasib bangsanya."

Hampir 40 tahun Pak Handi menggeluti usaha sebagai tukang cukur. Kondisi fisik Pak Handi kini sudah tidak muda lagi, sehingga di tahun 2005 ia memilih untuk pensiun. Kegiatan mencukur masih dilakukan terbatas pada anak-cucunya. Sepulang menunaikan ibadah haji tahun 2005, Pak H. Handi dan Bu Hj. Suaebah menetap di Cimahi, Bandung kota tempat enam keluarga anaknya tinggal. (**)

Penulis, Dadan Wahyudin, di Bandung