PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Rabu, 12 Agustus 2009

Kisah Sukses: H. Handi Junaedi: 7 dari 8 Anaknya Sarjana


Artikel versi Cetak, dengan tokoh AYAH, diminta khusus  untuk Majalah KISAH Vol III Juni 2007
 
Oleh: Dadan Wahyudin

Dimuat di Majalah Kisah - Intisari (Gramedia) Volume III Edisi Juni 2007 hal 112-119.

H. Handi Junaedi (65) hampir 40 tahun menjadi tukang cukur tradisional. Namun, ia mampu memberi pendidikan anak-anaknya secara layak. Berkat kegigihannya, dua anaknya meraih gelar doktor (S3), seorang lulusan program magister (S2), empat orang sarjana (S1) dan seorang lagi tamat SLTA. Tak cuma itu, ia, isterinya dan anak menantunya bisa menunaikan ibadah haji, ibadah yang hampir mustahil bagi seorang tukang cukur tradisional.

Kios cukur Pak handi - begitu sapaan akrab H. Handi Juaedi, bukanlah seperti barbershop atau salon yang dipenuhi peralatan canggih dan serba nyaman. Kios itu cuma terbuat dari bilik bambu beratapkan seng. Semilir angin di bawah pohon kersen seakan menjadi AC penyejuk bagi konsumen yang dilanda kegerahan. Dengan berjalannya waktu, kios itu dibuat semi permanen dengan menggunakan batu bata. Di sanalah tersimpan sejuta kisah perjuangan Pak Handi menyekolahkan delapan anaknya tanpa putus.

Pak Handi lahir di Pagaden - Subang, Jawa Barat, 1 Maret 1942, tepat saat bala tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau Jawa. Ia lahir dari keluarga buruh tani yang mengandalkan penghasilannya dari sawah orang lain. Ketika usianya beranjak remaja, sang ayah meninggal dunia. Sebagai lelaki tertua dari delapan saudara, praktis bersama ibunya terlibat dalam membimbing, mengasuh, menjadi tumpuan hidup adik-adiknya. Handi muda menjadi terbiasa menyelesaikan permasalahan keluarga umumnya, mengatasi perselisihan, memberi nasihat, serta praktis mengambil peran dan tanggung jawan ayahnya.

Pendidikan formal Pak Handi kala itu terabaikan. Ia mengeyam pendidikan formal hanya sampai kelas 4 Sekolah Rakyat (kini SD). "Maklum situasi zaman itu memang tak menguntungkan. Sekolah merupakan barang mewah" katanya. Bermodalkan pendidikan terbatas itu, yang membuatnya mampu membaca, menulis dan berhitung dengan lancar, ia berusaha mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya.

Menabung sembunyi-sembunyi

Mengasong di Stasiun Kereta api Pagadenbaru setelah menikah Suaebah (biasa dipanggil Ibu Ae) pada tanggal 24 Februari 1960 boleh dikatakan sebagai awal dari hidupnya. Pasangan Pak Handi-Ibu Ae menetap di Kampung Sukajaya Desa Sukamulya Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, Jawa Barat, tak jauh dari stasiun kereta api Pagadenbaru. Di stasiun tersebut ia menjajakan barang dagangannya hingga larut malam demi rezeki untuk satu liter dua liter beras yang ditunggu anak isterinya di rumah. Rutinitas "mengawal'" kereta api berakhir tatkala ia terjatuh ke sawah saat kereta sedang melaju. Ia menderita luka cukup parah. Peristiwa inilah yang membuatnya beralih profesi menjadi tukang cukur. Ia memilih mangkal menempati petak kios di pinggir stasiun.

Pak Handi melakoni profesi tersebut hingga anaknya mencapai delapan orang. Penghasilan sehari-hari sebagai tukang cukur, kalau dihitung secara matematis, tentu tidak memadai. Namun hidup ternyata bukan hitungan matematika bersifat mutlak. Ada nilai "barokah" yang sulit diukur perhitungan finansial. Meski, penghasilan Pak Handi di bawah kebutuhan. Toh, ia dan keluarganya tetap hidup dan berkembang.

Sebagai "menteri keuangan" keluarga, Ibu Ae sedemikian rupa mengatur keuangan keluarga. Bisa melewati satu hari saja, rasanya sudah bersyukur. Untuk esok hari, ya harap-harap cemas menanti usaha (rezeki) yang dibawa suami. Supaya hemat, ia menyiasati dengan memasak yang disukai semua anggota keluarga. Bukan standar selera suami atau salah satu anaknya. Untuk makan seluruh anggota keluarga, ia sudah terbiasa memasak sayur asam satu wajan besar dengan sambal goang (sambal cuma terdiri atas cabai rawit dan garam). Atau sayur kangkung dengan banyak kuah dan kerupuk. Dengan makanan seperti itu semua anggota keluarganya biasanya cukup menikmatinya. Hemmh...

Profil sang IBU, tujuh halaman, karya penulis  dimuat di media cetak Bandung

Ibu Ae juga suka menjahit. Kalau menjahit baju untuk anak-anaknya, ia memilihkan model baju yang bisa dipakai pagi hari, juga sore hari.. Ini juga menjadi cara Ibu Ae menghemat pengeluaran untuk keperluan sandang.

Tahun 1968, pasangan Pak Handi-Ibu Ae mulai menyekolahkan anak-anaknya. Meski bukan sekolah swasta, biaya untuk keperluan sekolah lumayan besar untuk ukuran mereka. Seperti untuk membeli buku, seragam, sepatu, dsb. Karenanya, selain menjadi tukang cukur, Pak Handi juga berusaha berdagang keliling kampung sepulang dari kios cukur. Ia mengambil barang dagangan dari grosir di pasar Pagaden untuk dijual kepada ibu-ibu di kampung Peundeuy, Bakan Kopi, Salagedang hingga Parigi. Di hari Rabu dan Sabtu ia berkeliling kembali menagih pembayaran barang-barang yang dikreditkan. Dari uang tagihan inilah, ia kemudian membayar barang di grosir dan mendapatkan untung dari selisih harganya.

Sayang, kios cukur Pak Handi tahun 1993 terkena Proyek pelebaran jalan ke Pasar Inpres. "Saya lalu mendirikan kios di lahan milik PU selama tiga tahun namun kembali dipakai si empunya tanah hingga akhirnya mengambil ruang depan rumah," tukasnya lirih.

Artikel inspiratif sang anak, karya penulis di sebuah majalah

Satu gaya hidup Pak Handi yang patut diacungi jempol, meskipun penghasilan pas-pasan, ia selalu memerlukan menabung. Jangan menyangka di BPR atau Bank. Pak Handi selama hidupnya tak kenal bank. Itu pula yang membuat hidupnya bersahaja. Ia menaruh uang tabungan di tempat-tempat yang tidak mencurigakan, seperti bekas pasta gigi, palang pintu, atau kardus bekas. Tabungan itu biasanya dibuka ketika ia membutuhkan biaya yang tidak bisa dipenuhi dari pendapatan sehari-hari.

Semula, keluarga tidak mengetahui kebiasaan itu. Namun, ada perilaku Pak Handi yang membuat keluarganya curiga. Ketika disodori kebutuhan biaya cukup besar, SPP atau iuran sekolah misalnya, ia segera menghilang sebentar. Ia kemudian muncul kembali dengan sejumlah uang. Suatu ketika upaya "menghilangkan diri" dilakukannya tercium oleh penulis. Setelah diintip woow....ternyata ia sedang asyik membongkar celengan rahasianya. Kalau kepergok seperti itu Pak Handi cuma tersenyum. Namun, kali berikutnya ia tidak akan menabung dalam tempat yang sama.

Jika ada kebetulan rezeki lebih, Pak Handi menginvestasikan dengan cara membeli seekor domba untuk digembalakan anaknya. Mungkin domba itu mirip deposito bisa berkembang biak dan ATM bisa ditarik tunai alias dijual. Ia akan menjual investasi itu saat membutuhkan uang segera seperti menjelang tahun ajaran baru, saat ada anaknya yang naik jenjang sekolah.

Terlambat membayar SPP atau iuran lainnya sudah menjadi langganan anak-anak Pak Handi. Bukan sengaja atau abai, namun semata-mata karena Pak Handi belum mampu membayar. Tak heran, seperti dialami penulis sering harus "berjemur" dulu sekitar 15 menit di lapangan olahraga, hanya karena belum melunasi iuran uang ulangan atau bangunan. Sementara siswa lain tengah asyik mengikuti ulangan umum.

Dalam keterbatasan Pak Handi dan Ibu Ae terus berupaya mendidik anak. Si anak pun tak patah semangat. Buktinya, anak-anak mereka mencapai prestasi membanggakan. Tahun 1980, anak pertama Pak Handi, Didi Suherdi (saat itu duduk di SPGN Subang) terpilih sebagai Siswa Teladan III Tingkat SLTA se-Jawa Barat dan berhak atas beasiswa Pikiran Rakyat selama setahun. Didi juga pernah meraih predikat mahasiswa teladan se-IKIP Bandung. Sementara Tati Rahmayati (anak ketujuh) saat duduk di SMAN 4 Bandung (1995) keluar sebagai Juara Harapan I Lomba Astra Kimia se-Jabar dan DKI Jakarta yang memuluskannya masuk Teknik Kimia ITB.

Kios Nyaris Dijual

Dalam keterbatasan finansial, Pak Handi sering menghadapi persoalan-persoalan dilematis. Misalnya, di tahun 1982, anak kedua Siti Maryam baru saja lulus SPGN Subang dan diterima di Program D3 Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung. Sebelumnya kakaknya, Didi diterima di Program D3 Bahasa dan Sastra Inggris perguruan tinggi yang sama. Meski Didi mampu membiayai pendidikan dengan beasiswa dan memberi privat dan menerjemahkan, toh Pak Handi tetap menghadapi kesulitan membiayai Siti kuliah.

Kondisi itu pula membuatnya gundah. Batinnya tergetar, semua serba dilematis. Kedua pilihan cukup pahit dan pilihan kuliah terlalu sayang bila harus diabaikan. Padahal masuk PTN bagi kebanyakan siswa saat itu amatlah sulit. Suatu ketika Pak Handi mengutarakan niatnya berbincang dengan anaknya dari hati ke hati.

"Siti, kakakmu tahun lalu masuk IKIP dan membutuhkan biaya besar. Ke depannya juga belum jelas. Bagaimana kalau kuliahmu bisa ditunda dulu atau Ayah harus menjual kios. Mudah-mudahan uangnya cukup untuk bekal kuliah di Bandung untuk beberapa hari ke depan,"
ucap Pak Handi dengan bibir tergetar.

Dr. Hj. Siti M, M.Pd (kanan) dalam berita HU Pikiran Rakyat

Namun, apa reaksi Siti? Ternyata Siti seorang remaja bijak yang jauh dari sikap egois. Dengan santun, ia memaparkan bahwa merasa keberatan atas rencana sang Ayah menjual kiosnya. Ia memilih lebih baik batal kuliah daripada ayahnya menjual satu-satunya sumber mata pencaharian, di mana ibu dan tujuh saudara lain tentu bergantung dari kios itu, tempat ayahnya mencari nafkah.

Rupanya Tuhan melihat kesulitan Pak Handi. Tanpa ia duga, ada kerabatnya meminjamkan uang secara lunak tanpa harus menjual kios, Siti pun bisa kuliah. Pada akhirnya, keduanya mendapat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan cukup membantu biaya kuliah selanjutnya.

Kesulitan lain menguras pikiran terasa di tahun 1992. Saat itu, tiga anaknya harus naik jenjang sekolah, Lina Marlina (anak kedelapan) dari SD ke SMP, Tati Rahmayati (anak ketujuh) dari SMP ke SMA dan Ade Muhtar dari SMA ke perguruan tinggi. Dua anak lainnya Yani M. (anak keempat) dan Dadan Wahyudin (anak kelima) harus registrasi kuliah bulan itu juga. Untungnya, Pak Handi punya kebiasaan mengikuti arisan di tetangganya. Dengan minta menarik arisan terlebih dahulu (ditukar) biaya siswa baru dapat tertutupi termasuk biaya kuliah anak lain berkat cairnya rapel beasiswa mereka.

Begitu pun Ade, meski diterima di Jurusan Farmasi ITB, Tuhan mengantarkannya ke sekolah yang tanpa mengeluarkan uang kuliah yakni STAN Jakarta. Di Jakarta, Ade M pun bertempat tinggal di keluarga yang baru dikenalnya. Dengan baik hati, sang empunya kos bisa dibayar kalau Pak Handi sudah memiliki uang untuk membayarnya. Sungguh bukti kebesaran Tuhan Yang Mahakuasa.

Begitu seterusnya, setiap kali Pak Handi menghadapi kesulitan biaya selalu pula ada jalan keluarnya. Itu tak lain dari kebiasaan dirinya selalu berdoa untuk bangun malam di sepertiga malam akhir.

Ketiga putra Pak Handi bersama guru besar Jepang, Prof. Dr, Mikihiro Moriyama dalam suatu seminar internasional. Dokumen diambil dari Majalah Suara Daerah PGRI Jawa Barat.

Kini, kedelapan anaknya sudah menyelesaikan pendidikannya dan bekerja. Prof. Dr. H. Didi Suherdi, M.Ed menyelesaikan pendidikan di IKIP (1986) kemudian dilanjutkan mengambil magister di Universitas Melbourne, Australia (1994) dan S3 di UPI Bandung kini bertugas di almamaternya sebagai dosen di FPBS UPI Bandung. Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd menyelesaikan S1, S2 dan lulus S3 (2007) di IKIP/UPI Bandung, sejak begitu lulus sarjana diterima sebagai PNS di lingkungan Kopertis Wilayah IV dan kini bertugas di Progpas S2/FKIP Universitas Suryakancana Cianjur. Dra. Yani M. alumnus IAIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai PNS di Subang, Dadan Wahyudin, S.Pt lulus Fakultas Peternakan Unpad Bandung tahun 1996 bekerja  sebagai praktisi peternakan dan menyambi sebagai jurnalis lepas, Tati Rahmayati, ST lulus sarjana di Jurusan Teknik Kimia - FTI ITB (2000) sebelumnya bekerja di Mental Aritmetika Internasional. H. Ade Muhtar, MM alumnus STAN Jakarta dan menyelesaikan program S2 di Universitas Bhayangkara Jakarta, kini menjadi PNS di KPP Kebonjeruk, Jakarta. Elin Marlina, SP lulus Fakultas Pertanian Unpad Bandung (2003) sekarang berprofesi guru. Terakhir Upu M. tamat SLTA kini tertarik berwiraswasta, menjadi juragan kelontong di pasar.

Sukses itu tentu tak lepas dari peran Hj. Suaebah. Ibu Ae selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak-anaknya ketika masih kecil. Kalau ada yang kehilangan sesuatu, ia tidak pernah sekalipun menyebut apalagi menuduh mencuri. Paling-paling ia mengingatkan, "Ah, barangkali lupa tempat menaruhnya."

Ibu Ae juga menanamkan nilai keagamaan, norma, dan moral pada semua anaknya. Menjelang tidur, dengan penuh kasih sayang, nilai-nilai keteladanan, perjuangan, dan optimisme diberikan dengan memberi cerita kisah teladan dari para Nabi dan orang-orang Saleh. Tak terlewatkan cerita tokoh-tokoh besar nasional dan dunia banyak terlahir dari kalangan jelata. Pesan kepada anak-anaknya, "Mereka bukan saja mampu mengubah nasib dirinya, tapi juga nasib bangsanya."

Hampir 40 tahun Pak Handi menggeluti usaha sebagai tukang cukur. Kondisi fisik Pak Handi kini sudah tidak muda lagi, sehingga di tahun 2005 ia memilih untuk pensiun. Kegiatan mencukur masih dilakukan terbatas pada anak-cucunya. Sepulang menunaikan ibadah haji tahun 2005, Pak H. Handi dan Bu Hj. Suaebah menetap di Cimahi, Bandung kota tempat enam keluarga anaknya tinggal. (**)

Penulis, Dadan Wahyudin, di Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar