PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Rabu, 28 Oktober 2009

MENYIASATI PENGHASILAN TERBATAS



Oleh ; Dadan Wahyudin

Mengurus keuangan adalah seni. Banyak yang bilang bukan soal besarannya, tapi bagaimana mengelola setiap pendapatan yang diperoleh. Prinsip ini dijalankan oleh Ibuku.

Pekerjaan ayah sebagai pemangkas rambut tradisional dengan penghasilan tak menentu. Di kala hujan atau sakit, kadang ayah pulang dengan tangan hampa. Beruntung aku memiliki Ibu yang hebat, sabar, teguh, dan selalu optimis. Ibu telaten dan bijak. Dengan penuh kasih sayang membimbing kami tanpa rasa kenallelah. Meski pendidikan orang tuaku tak tinggi, dengan izin-Nya berhasil memberikan pendidikan yang layak bagi delapan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi negeri.

Berikut kiat Ibu sebagai "menteri keuangan" keluarga menyiasati beban hidup begitu berat dengan:

1. Bersifat selektif, dalam memilih makanan bukan didasarkan
pada kesukaan salah seorang anak tapi harus disukai semua
anggota keluarga. Memilih pakaian yang pantas dikenakan
dalam segala suasana.

2. Memilih sekolah negeri, karena dianggap paling murah dan mudah
mendapat beasiswa.

3. Selalu memberikan sarapan pagi bikin kenyang, seperti: nasi uduk
atau minimal surabi sehingga tanpa harus jajan bisa belajar
dengan konsentrasi.

4. Selalu mengecek PR dan tugas anak sepulang sekolah.

5. Memberikan uang jajan selektif.

6. Memotivasi bahwa hidup butuh perjuangan. (**)

Penulis, Dadan Wahyudin, di Bandung

(Tulisan ini dimuat di Intisari, Edisi April 2007 hal. 192 dirubrik Tips Edisi HUT Kartini). Semoga menginspirasi bagi keluarga muda sepertiku.

RASA MALU ITU BERUBAH MENJADI KEBANGGAAN




Oleh: Hj. Siti Maryam

Pemangkas rambut adalah profesi ayahku. Delapan orang anak merupakan karunia Allah SWT bagi ayahku.

Karunia tersebut merupakan amanah yang berat bagi ayah. Betapa tidak, ayah harus memberikan tunjangan kehidupan yang layak bagi sepuluh orang, delapan anak, satu isteri dan dirinya. Tunjangan ini begitu ironis jika dibandingkan dengan usahanya sebagai pemangkas rambut tradisional yang penghasilannya terbatas sekali.

Satu persatu ayah menyekolahkan anak-anaknya seperti halnya orang lain. Aku sendiri mulai menginjakkan kakiku di bangku SD pada usia lima tahun. Profesi ayahku ternyata jadi olok-olok teman-temanku di sekolah. Terang saja aku jadi malu, manakala teman-temanku menanyakan berapa tarif potong rambut anak-anak, orang tua dan sebagainya.

Rasa malu itu bertambah manakala bila guru menyinggung murid laki-laki yang rambutnya gondrong. Spontan teman yang lain berkata, “Punya teman anak tukang cukur, kenapa tak kaumanfaatkan, kan kamu bisa gratis. Ha..ha..ha”. Rekan-rekan yang lain ikut tertawa, cuma aku yang tertunduk.

Jika kebetulan ada guru atau orang tua temanku yang hendak potong rambut ke ayahku, kebetulan aku sedang berada di sana, biasanya aku segera berlari. Aku tak berani di sana lebih lama, sekali pun ayah belum memberi uang jajan yang biasanya diberi jika ke sana.

Di sekolah, kakakku dan aku termasuk orang yang berprestasi. Kegiatan ekstrakurikuler pun selalu kami ikuti. Tak heran kemudian aku tumbuh menjadi gadis yang penuh aktivitas. Sehingga tak terpikirkan olehu untuk segera memiliki pacar. Hal ini merupakan hal ganjil di kalangan keluarga besarku. Mereka biasanya menikah di bawah umur.

****

Suatu ketika seorang keluarga lebih beruntung dari orang tuaku di kampungku mengutarakan maksudnya kepada orang tuaku, agar mau menjadi menantunya. Sang isteri turut menuturkan jika aku mau menjadi menantunya, berarti keluarga mereka telah melakukan dua kebajikan sekaligus. Yang pertama memperisteriku dan kedua, menolong anak yang tak mampu. Mendengar perkataannya, aku diam saja, meskipun dalam hatiku berontak. Tak mau rasanya direndahkan seperti itu.

Pada kesempatan lain, saat aku main ke rumahnya, sang ibu keluarga itu menerangkan padaku bahwa kalau anaknya tukang cukur, kemungkinan anak atau menantunya akan jadi tukang cukur pula. Mendengar penjelasannya, timbul rasa malu yang tadinya berangsur hilang. Sejak saat itu bila ada yang bertanya profesi ayahku, selalu kujawab dagang. Kebetulan ayah saat itu menyambi dagang kecil-kecilan seperti: pasta gigi, sabun, odol, dan lain-lain yang dijajakan ke kampung-kampung. Lama-kelamaan ayah berhenti, terlalu lelah alasannya.

Tahun demi tahun profesi ayah tak berubah. Yang berubah kami anak-anaknya. Kedelapan anak itu dua telah menjadi sarjana, dua sedang lagi sedang kuliah di perguruan tinggi negeri dan sisanya di SMP/SMA. Perubahan itu mengubah rasa malu yang selama ini melekat pada diriku berubah menjadi kebanggaan. Kebanggaan keluarga, juga kebanggaan orang kampung juga.

Sekarang jika ada teman-temanku yang menanyakan alamat orang tuaku, maka akan dijawab oleh anak-anaknya dengan alamat tempat usaha ayah. Karena tempat itu telah begitu akrab dengan orang-orang di sana. Dan, alhamdulillah suamiku bukan tukang cukur sebagaimana prediksi calon besan orang tuaku itu. Demikian juga adik-adikku. Ada kerabat jauh yang memiliki salon ternama di kampungku, aku pun bangga padanya. Hal itu mematahkan teori bibiku, yang jelas sepanjang pengetahuanku, tak ada gen profesi yang diwariskan seperti teori bibiku?

Penulis, Hj. Siti Maryam, di Cimahi
dimuat di Majalah Kartini, Edisi Agustus 1992

*)hal bersifat privacy diedit ulang pengelola blog,
sehingga layak publikasi juga dimuat ulang pada
Booklet Keluarga Edisi Juni 2009.