PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Rabu, 01 Desember 2010

Didi Suherdi: Bahasa Ibu, Pikiran Rakyat, Apa dan Siapa, 2 Des 2010




SEBAGAI guru besar metodologi pengajaran bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof. Dr. Didi Suherdi, M.Ed. (48) sering menjadi pembicara pada seminar nasional dan internasional. Didi menekankan pentingnya penggunaan bahasa ibu dalam pendidikan usia dini agar anak bisa cepat mengenal budayanya tanpa kendala bahasa. "Namun, bahasa ibu itu bukan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali dikuasai anak. Di Lampung bisa saja bahasa ibunya bahasa Jawa kalau memang mereka berasal dari Jawa," ujarnya seusai menjadi pembicara di Jakarta, 3 November 2010.

Suami Dwi Harini (48) dan ayah lima anak ini adalah sarjana bahasa Inggris IKIP Bandung 1985. Pendidikan master ditempuhnya di Universitas Melbourne dan lulus 1995 dalam bidang TESOL (Teaching of English to Speakers of Other Language/pengajaran bahasa Inggris bagi pengguna bahasa lain). Gelar doktor diraihnya dari UPI pada 2005. Pada Juli 2009, gelar profesor disandang pria kelahiran Subang, 1 November 1962 ini.

Menurut dia, generasi muda harus menjadi multibahasawan. Untuk itu, bahasa-bahasa harus diajarkan secara tertib. Tidak mengorbankan kesempatan anak untuk berpikir dan berkomunikasi secara kritis. "Pembelajaran yang mengabaikan literasi bahasa ibu karena ingin segera mengajarkan bahasa kedua dan bahasa asing, akan merugikan anak dalam perkembangan berpikir serta perkembangan bahasa kedua dan bahasa asingnya," ujar Didi. (Imam J.P./"PR")***

Rabu, 15 September 2010

Silaturahim Idulfitri 2010 (Tanjungsiang dan Pagaden)

Catatan Dadan wahyudin, Ketua Acara Silaturahim Idulfitri 1431H (I)

Matahari belum sempurna terbit. Di temaram pagi, berkelebat sepeda motor supra X 125 Nd buatan tahun 2009 meninggalkan bilangan Tanjungsari menyusuri jalan berkelok nan cantik daerah Rancakalong. Itulah aku membonceng anak pertama dan kedua sengaja membelah kesunyian di pagi buta.

Sengaja aku berangkat pagi, karena istri rencananya menyusul satu jam kemudian dengan angkot Tanjungsari-Rancakalong. Sesampai di Tanjungsiang balik lagi, menjemput istri di terminal Rancakalong, Sumedang ngirit jarak 15 kilometer. Seluruh keluarga Posindo tiba tepat jam 08.30, langsung berkemas membantu ibuku yang telah dulu menetap di Tanjungsiang menemani nenek yang terbaring lemah. Begitu kakak ketigaku, tengah asyik membungkus lemper persiapan siang nanti.




Lebaran kali ini, sengaja kami bagi dua tempat. Pertama, sepeninggal Ayah (April 2010), ibu lebih sering tinggal di Tanjungsiang, menemani nenek (kami panggil) yang usianya sudah sepuh. Berkaca tahun 2009, akibat tidak terkoordinir acara di tahun lalu gagal.

Tak salah bila seluruh Keluarga Besar H. Handi Junaedi (selanjutnya disebut: KBHJ) kami konsentrasikan ke Tanjungsiang sekaligus menengok nenek yang terbaring lemah.



Alhamdulillah, seluruh keluarga bisa berkenan hadir. Giliran ketiga, keluarga H. Didi tiba diikuti Keluarga H. Cecep dan Inggit. Terakhir keluarga H. Edi S dan H. Ade Muhtar. Kecuali keluarga H. Hariman (dari Surabaya) tidak sempat hadir, kecapaian akibat macet melelahkan bertolak dari Surabaya. Bukan saja bisa bersilaturahim dengan nenek kami juga berjabat tangan sesama saudara sengaja kumpul.



Sesuai arahan Panitia, tiap keluarga membawa makanan dan konsumsi masing-masing. Kami pun makan diselingi tawa canda melepas kemenangan dan kebahagiaan. Panitia menyediakan 30 butir kelapa muda berikut tim pengupasnya. Begitu pun kolam pancing dan bakar ikan sengaja disiapkan. Hemmh,..Semua menambah semarak suasana.






Silaturahim KB Mbah Madkosim 2010


Esoknya sesuai schedule, Minggu (12/9) kami mengadakan silaturahim tingkat KB Madkosim (kakek nenek dari ayah) mengambil tempat di rumahku. Mengapa diadakan terpisah? Karena untuk mencapai tanjungsiang, kami kesulitan transportasi dan sarana. Kedua, ikatan emosional dalam keluarga dari ayah tentu kurang menyentuh, karena basis peserta ini adalah di Pagaden.




Kami adakan terpisah, agar acara bisa diadakan penuh konsentrasi dan makna. Kami tidak ingin mengadakan acara dalam suasana kelelahan atau terjebak macet, sehingga gregetnya kurang.

Acara ini meski tidak semeriah tahun 2008, tetapi dihadiri seluruh keluarga putra/i Mbah Madkosim, seperti Bapak Muslim, Bapak Sualeman, Ibu Armi, Ibu Junaesih, Ibu Maryati dan Ibu Sopiah. Di kalangan generasi cucu, Endang dan Didin (Muslim) hadir, Begitu pula Eni Roheni, Ade Rohedi/Ayu, Entin Rohetin/Asep Yusup (Armi) hadir. Keluarga almr Bp H.Handi mewakilkan pada Dadan/Ajka, Pupu/Wawan, Tati/Hari, dan keluarga Ade Muhtar. Sementara Uung/Ikoh, Aris/Wiwin dan Wati (Sualeman) ada. Di KB Sopiah, Nandang, Nunung/Tori, Ega, Ikbal. Di KB Junaesih, ada Erus/Dede, Yuli, Titi, Miftahul Hikam, Hanafi. Dan KB (Hasan-Maryati) dihadiri Agus saepudin, Andi Lala, Agus/Ela, Riki, Kamal. Artinya setengah keluarga mewakili hadir.

Kurang meriah dalam jumlah personil, dikarenakan KB Lembang (H. Didi terlambat, H. Cecep) absen. Ini [pengaruh signifikan dalam urusan personil. Kedua, KB Cijerah (H. Edi, Inggit) urung sehingga ketidakhadiran empat KB menyedot jumlah kehadiran peserta.



Tetapi secara keseluruhan acara berlangsung khidmat dan menarik. Didahului acara masak bareng antargenerasi, sebuah kolaborasi sempurna antara Entin, Pupu Marfuah, Ni Eso, Ni Uju, Ni Ami, Wiwin, Ajeng, Nana dan Ceu Eni, ada Bi Ecin membuat ikatan silaturahim dan kedekatan amat terasa. Begitu pula dalam memasang tenda, tikar, sound system, doorprice, hingga shooting dan foto dilakukan oleh Cepi, hanapi, Adik, Teguh, Aris, Ikbal dan Didin. Ini pertanda positif. Acara silaturahim bukan sekadar datang dan pulang, tapi menyemai ikatan-ikatan kerukunan dan kebersamaan yang berangsur pudar.



Ajang ini pula merepresentasikan bahwa acara silaturahim KB Madkosim tidak pudar hanya ketidakhadiran Bapak H. Handi Junaedi (meninggal April lalu), sebagai sosok pemotivasi dan pemersatu. Ternyata, dengan kolaborasi dan bahu membahu, acara bermodalkan 145 ribu rupiah ini dengan tanggung renteng ini mampu mendapat tempat di hati sanubari seluruh peserta.



Harapan Panitia, agar masing-masing anggota dapat menyisihkan sebagian waktunya demi acara tidak satu tahun sekali ini diadakan. Kerelaan menyisihkan waktu, tenaga dan pikirannya semoga dibalas Alloh SWT dengan pahala berlipat dalam rangka melanggengkan silaturahim, media berbagi dan menjalin kerukunan...

Panitia mohon maaf, atas segala ketidaknyamanan dan keterbatasan. Semoga di tahun depan, dapat diadakan lebih semarak dan bermakna... (**)



Pagaden, 12 September 2010

Nenek Aminah, Pulang dengan Ketulusan Anak Cucunya

SAAT  mendapat status dari adikku Ade M di Grup KBHJ, sontak saya langsung memutuskan acara silaturahim tingkat KBHJ dilangsungkan di Tanjungsiang. Biasanya saya tergolong alot, minimal saya melakukan "Pooling Peserta". Bukan apa, saya tidak mau dianggap egois, otoriter atau diktator hehehe... Seperti penentuan Silaturahim sebelumnya, saya lemparkan Pooling di fb ini terlebih dahului untuk menjaring aspirasi dan usul peserta.

Saat itu tidak, saya bergerak.  Seluruh peserta keluarga besar di SMS, dan  tidak ada jawaban. Biasanya suka ada setuju atau tidak setuju. Kalau begitu OKe. Saya hubungi ibu, sebagai tokoh kunci, saat lebaran nanti ada di mana?

"Karena ayah tidak ada, Emih akan ke Tanjungsiang" kata ibu lirih. Ibu berangkat lebih dahulu, diantarkan oleh cucunya.  Kasihan nenek sudah lama terbaring lemah. Maksudnya, biar ibu punya waktu lama, soalnya esoknya ada Silaturahim keluarga Ayah di Pagaden.

Nenek Aminah, adalah ibunya ibuku, atau nenek kami. Usianya sudah udur. Bila ibuku sekarang berusia 66 tahun, dengan asumsi nenek menikah di usia 16 tahun, maka nenek diprediksi berusia 82 tahun. Satu sifat nenek yang kukagumi, ditengah keterbatasan pantang untuk bergantung pada orang lain.

Saya mengenal seorang pekerja keras dan mandiri. Nenek membesarkan anak-anaknya single parent, setelah kakek meninggal dunia saat putra-putrinya masih kecil. Dulu sewaktu saya kecil, nenek bekerja di sawah dan kebunnya. Di pinggir rumah terbuat dari bilik bambu, nenek memelihara ayam dan entog juga ikan. Saya suka dimasakin ikan langsung disirib oleh nenek. Hemh, sebongkah kebersamaan dan kenangan indah bersama nenek...

Diusianya sepuh dan ketidakberdayaan fisik, nenek diberi pikiran jernih dan daya ingat yang tinggi. Ia hapal cucu-cucunya termasuk perilaku lucu-lucu dari cucu-cucunya. Dalam kondisi lemah, nenek berusaha menjamu setyiap tamu yang datang. Sebuah teh lama tidak dimasak (maklum nenek seorang diri), mencoba diberikan sebagai penghormatan kepada tamu termasuk kami.

"Naaa, teu aya nanaonnnn atuuh. Karunya tamu teh teu disuguhaannn..." begitu logat nenek selalu kami kenang.

Dalam setahun ini kondisinya menurun. Nenek hanya bisa berbaring. Tinggal seorang diri di rumah tuanya. Untunglah, Bi Kokom, satu putra nenek rumahnya masih di sekitar kampung sana. Ia telaten merawat nenek. Begitu pun ibu, bolak-balik Bandung-Tanjungsiang turut merawat dan membiayai kehidupan sehari-hari nenek.

Hari itu, Sabtu (11/9), sehari setelah Idulfitri, rumah nenek menjadi hangat. Maklum sengaja, kami menggelar puncak silaturahim tingkat KBHJ di sini. Seluruh cucunya dari keluarga ibu berkenan hadir. Acara Silaturahim ini menjadi istimewa, kerena adik ibu (putra kedua nenek), Bi Edah dan Iman, putranya, sengaja terbang dari Sintang Via Pontianak (Kalimantan Barat) berkesempatan hadir di rumah nenek. Begitu juga saudara-saaaudara ibu, Mang Abas dan Bi Kokom ikut hadir di Tanjungsiang. Kami pun bersalaman saling bermaafan dan sungkem pada nenek.

Siangnya, aku harus menuju Pagaden karena esoknya Silaturahmi dari Keluarga Ayah (KB Madkosim) bakal digelar. Aku termasuk Ketua Acara itu. Jam 15.00, aku paling akhir pergi. Salat Asar di Cilameri, saya ketemu A Edi dan Ade Muhtar. Langsung ke Pagaden bebenah mempersiapkan sesuatu.

Esoknya Hari H (12/9) acara silaturahim sukses digelar. Hampir 100 orang menghadiri acara. Sepeninggal ayah, sesepuh berganti ke Bapak Muslim memberikan sekapur sirih sambutannya. Dilanjutkan aki eman memperkenalkan satu persatu dan Kultum oleh da'i Cilik Juara Jawa Barat, Nisa (Kelas 4 SD). Woow memukau deh... Acara dilanjutkan pengundian Doorprice, pemutaran Video Silaturahim 2008 dan Makan Bersama. (Baca Silaturahim 2010, Mengapa diBagi dua tempat?")

Jam 13.10, Ibu dan teh Dwi (menantu putra pertama) tiba di Pagaden. Selang berapa lama, ditemani sopirnya Idham, Teh Dwi bersmaa putra/inya melanjutkan perjalanan ke Bogor, dalam rombongan ini Miftahul Hikam sama isterinya ikut. Sementara Aa Didi sengaja beristirahat, karena harus ke Bangkok dan Cina, beberapa hari ke depan.

Jam 22.00, Ibu mendapat kabar bahwa nenek di Tanjungsiang meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Innalillahi wainna ilahi rajiuun, Jam itu juga, aku membangunkan istriku dan anak-anakku, untuk segera menemani ibu meluncur ke Tanjungsiang. Selama ibu ke Pagaden, nenek ditemani Bi Edah, putra dari Kalimantan dan Keluarga Mang Abas hingga menghembuskan nafas terakhirnya.

Nenek Aminah (Ma Enah) pada hari Minggu (12/9), pukul 21.30 meninggal dunia, meninggalkan 4 putra dan hampir 70 orang cucu. Bagi ibu, di tahun 2010 ini telah ditinggalkan 2 orang terdekatnya, suami (ayah kami) dan ibunya (nenek kami). Ibu sosok tegar dikenal orang sekelilingnya tempat meminta nasihat, tampak tegar dan jernih. Sebagai putra tertua nenek, ibu tampil paling depan dalam mengurusi pemakaman hingga hal-hal lainnya.


"Untungnya, panitia menggelar acara di Tanjungsiang. Nenek Aminah telah berjumpa dengan seluruh putra dan cucu-cucunya," ujar Hj. Siti Maryam, satu cucunya.

Nenek Aminah telah pergi di hari nan fitri membawa kesucian dan kesederhanaannya. Nenek sempat menyapa seluruh anak cucunya. Nenek sempat melihat kerukunan dan kekompakan diperlihatkan generasi belianya membuatnya tenang dan bangga.

Nenek yang selalu ramah menyapa dan telah melahirkan insan-insan saleh dan salihat, cucu-cucu yang memberi kontribusi bagi negeri dan masyarakat. Semoga Alloh SWT melapangkan dan menerangi alam kuburnya, mengampuni segala khilaf dan dosanya, memberi tempat terhormat dan mulya...... (**)

Sabtu, 31 Juli 2010

Menyambangi Objek Wisata "Ciater" Kebanggaan Daerahku



Hari Minggu, 25 Juli 2010, tepat jam 07.00, dua bus parawisata AC "Jayalangit" meluncur menuju Kawasan Ciater. Bus sengaja melalui gerbang tol Cileunyi untuk menghindari kemacetan di sekitar Samsat atau Gasibu dan keluar di pintu tol Pasteur.

Hari itu warga Citra - Cinunuk mengadakan acara refresing ke kawasan obyek wisata Ciater Kab. Subang. Acara ini difasilitasi sepenuhnya oleh Panitia. Semua akomodasi, transportasi dan tiket masuk, serta suguhan snack ditanggung Panitia. Waaah....mimpi baik nih...



Berkunjung ke Ciater bagi saya, ibarat pulang kampung. Bagaimanapun saya lahir dan besar di Subang. Kawasan Ciater, tempat rekreasi favorit semasa anak-anak. Setiap kali Idul fitri, juragan mobil bak, suka "berbaik hati" menawarkan tumpangannya ke Ciater. Kebaikan itu dibayar dengan tarif yang kebetulan dimiliki anak-anak. Sesuai tradisi kami suka diberi uang lebih kalo puasaku tamat.


Berkah Gn. Tangkubanparahu

Sudah menjadi fenomena sebuah gunung berapi memiliki magma yang panas di dalamnya. Batuan ini ibarat bara api yang terus panas. Tatkala air hujan meresap ke dalam tanah, air itu melewati bebatuan panas dan muncul menjadi sumber air panas yang mengalir. Jadilah aliran air terasa hangat sepanjang masa.

Ternyata batuan magma memiliki kandungan zat-zat seperti belerang (Sulfur), kapur, dan zat lainnya yang berguna untuk kesehatan. Hal ini pula menjadikan wisata ke Ciater, bukan hanya menikmati alamnya yang elok dan sejuk, tapi wisata air kesehatan untuk menyembuhkan rematik, asam urat, penyakit tulang, atau penyakit kulit lainnya.

Objek wisata di Kab. Subang


Ciater, merupakan salah satu objek wisata diandalkan oleh Pemda Kab. Subang. Kab. Subang memiliki setidaknya 13 objek wisata selalu ramai dikunjungi wisatawan lokal juga mancanegara, seperti: Pantai Pondok Bali di Pamanukan, Air panas Batukapur di Curug Agung, Sagalaherang; Curug Cileat di Cisalak; Wisata Alam, Seni Budaya Desa Wisata Sari Bunihayu di Jalancagak; Desa Wisata adat Wangunharja;

Di Kab. Subang ada juga Kolam Pancing Lembah Gn Kujang; Penangkaran Buaya Blanakan; Pantai Kelapa Patimban; Pacuan Kuda di Ciater Highland Resort, Capolaga Adventura Camp di Panaruban, Sagalaherang dan terakhir Obyek Wisata Kawah Tangkubanparahu dan Pemandian airpanas Ciater. Kawah Tangkubanparahu merupakan gawe bareng Pemkab. Bandung Barat dan Kab. Subang.

Objek wisata Air Panas Ciater

Ciater atau Sari Ater, sumber mata air panas yang terdapat di beberapa lokasi di Ciater dalam bentuk kolam dan kamar rendam dengan desain yang unik, dengan luas areal 30 hektare dan pesona alam khas pegunungan, obyek wisata terbesar di Jawa Barat ini dilengkapi berbagai fasilitas wisata untuk bersantai dengan berendam di hangatnya air panas yang menyehatkan sembari menikmati keindahan alam di sekitarnya.


Konon dahulu kala kawasan ini merupakan suatu hutan rimba yang banyak terdapat pepohonan yang dikenal dengan nama pohon ater. Menurut cerita yang beredar di masyarakat tempatan, suatu ketika ada seseorang yang mencoba memotong pohon ater itu, dan ternyata dari cabang pohon yang dipotong tersebut keluarlah air yang cukup deras. Fenomena ini tentu saja menjadi anugerah bagi masyarakat sekitar yang waktu itu sedang mengalami kesusahan akan air bersih. Pancaran air yang keluar dari pohon ater tersebut diyakini oleh warga berkhasiat untuk mengobati penyakit, terutama penyakit kulit. kemudian Pada sekitar tahun 1960-an, seorang bernama Embah Ebos yang dikenal sebagai orang sakti, memulai usaha pembukaan hutan di kawasan tersebut. Daerah yang semula dianggap angker itu diubah menjadi lahan perkampungan dan diberi nama Ciater yang artinya “air yang memancar”

Banyak kegiatan menyenangkan yang bisa Anda sekeluarga lakukan di tempat ini, seperti bersepeda, berenang, memancing, berperahu dan mendayung, arung jeram, berkuda, tenis lapangan, basket, voli, mini golf, gokart, berkemah, outbond, wahana permainan anak-anak, jalan-jalan di perkebunan teh, hingga mengunjungi kerajinan keramik.

Acara warga
Begitu tiba di Parkir Timur, kami langsung menempati tenda yang sudah dipesan sebelumnya. Pertama kali mengecek jumlah peserta. Kemudian perkenalan diri dan keluarga. Acara pun dilanjutkan permainan. Waah serunya....



Selesai acara kami makan bersama. Kami saling tukar dan mencicipi. Diiringi gemericik air sungai yang mengalir melalui sela bebatuan, juga kicau burung hinggap di satu dahan ke dahan lain, makan pun terasa nikmat. Kami buang jauh-jauh kesumpekan, kepenatan dan kebisingan. Suasana amat tentram, damai dan syahdu.

Tak terasa perut pun terasa kenyang. Panitia membolehkan kami menikmati acara bebas sesuka hati. Ada berendam, ada naik flyng fox, berkuda,naik bebek air, atau sekedar berjalan-jalan menghirup udara sejuk dan segar. Kabut tipis tak henti-henti menyelimuti daerah itu dari terik sinar mentari.
Saya mengajak si kecil menikmati hangatnya air Ciater. Oh, anakku berusia 7 bulan sangat senang sekali. Berteriak-teriak girang.... Kaki berloncat-loncat manakala menyentuh air hangat...



Seusai shalat dhuhur, kami berkumpul di tenda utama. Beberapa keluarga masih mencoba wahana bikin penasaran. Huuup..... anakku masih mencoba nai bebek air.... Mas Aria kayanya ncoba flying fox bikin jantung berdegup...

Pukul 14.20 kami naik bus. Beberapa kawan mencoba memborong sekarung ganas. Nenas memang merupakan maskot alias oleh-oleh khas Subang. Sebagian membeli oleh-oleh lainnya. Bus pun akhirnya meraung meninggalkan Objek wisata tersebut.

Tepat Pukul 15.30, bus berhenti di Tahu Tauhid, Lembang. Sebagian peserta mencoba melengkapi oleh-olehnya. Alamak, ngantrinya bikin stress. Beli tahu aja koq ngantri...

Dalam suasana ngantri ini, kami sempatkan salat asar di Masjid BTN Pusdikajen, 500 meter ke arah timur. Di sini,di kompleks ajudan jendral, saya pernah tinggal selama 6 bulan di tahun 1990 semasa kelas 2 SMA. Karena kakak pertamaku tinggal di sini sejak 1989 hingga sekarang.

(oleh-oleh khas Subang)

Akhirnya, setelah peserta siap....deru knalpot bus meninggalkan outlet tahu amat digemari wisatawan itu sekaligus kawasan Ciater dengan sejuta pesonanya. Selamat tinggal Ciater, Semoga bertemu di Objek wisata lainnya, yang tentunya tidak gratis lagi, bukan?

Salam blogger,

Dadan Wahyudin

Selasa, 13 Juli 2010

Ke Jawa Yuk ...

by : Dadan Wahyudin

Jawa Timur cukup jauh. Menyeberang   DIY Yogyakarta atau Jawa Tengah. Tapi akhirnya menjadi daerah tujuan keluarga kami.

Saya sendiri menginjakkan kaki di provinsi paling timur di pulau Jawa tahun 1991 persis saat liburan SMA.  Saya ikut tour ke Wonosalam Jombang dari muda/i Bandung kulon.  

Yang kedua, sekitar tahun 1994, tour barokah bersama rombongan Sinsa Ujungberung tujuan Kediri. Saat itu ada asramaan Hadist Bukhori, Saya berjumpa  adikku Ade M, sengaja datang dari Jakarta untuk ikut asramaan. Ketemu di Jawa.

Ketiga adalah liburan spektakuler. Yaitu tahun tanggal 28 Juni s.d. 1 Juli 2009. "Keluarga Pagaden" dalam KBHJ dalam keluarga besar sengaja memborong satu bis parawisata besar "Vista" berjumlah sekitar 44 orang. Tujuannya berwisata sepanjang jalur dilalui, seperti: Wisata Bahari Lamongan (WBL), Pantai Kenjeran, Jembatan Suramadu, Pulau Madura, Museum Kapal Selam, Lumpur Lapindo, Mesjid Agung Surabaya, dan Borobudur serta menikmati Lotek Isah di Pagaden. Sambil menengok salah seorang adikku, bi Tati yang tinggal di Madaeng, Sidoarjo, Jawa Timur dua tiga pulau terlampui alias berwisata sekaligus.

Langganan

Sejak anak sekolah di Jawa Timur, beberapa kali saya ke negeri bekas kerajaan terbesar di Nusantara, Majapahit.  Karena sekolah bersama keponakan, kadang suka bergiliran mengantarkan.  Sejak kelas 2 SMP, tidak pernah di antar lagi.  




Saya masih inget saat akan mengantar anak ke Jawa. malamnya makan nasgor dan poto bersama di kompleks posindo.   Tanggal 6 hingga 9 Juli 2010 saya mengantar anak dan keponakan ke Jawa.  Kali ini naik kereta api yang baru diluncurkan, yaitu Kereta Api Malabar Ekspress.

KA Malabar Express memang baru diluncurkan awal April lalu. Merupakan kereta api three in one karena memuat kelas eksekutif, bisnis dan ekonomi seklaigus. Tiket eksekutif dan bisnis telah ludes sebelumnya. Pilihan pada kelas ekonomi plus.





Ke Surabaya
Di Surabaya tempat tinggal adikku,  Ia tinggal di Madaeng, Sidoarjo.   Kini keponakanku tinggal di Sidoarjo.  Begitupula salah seorang mertua adikku tinggal di Madiun.

Sejak saat itu, Jawa Timur bagian petualangan saya. Jalur utara via Lasem, Gresik, Sedayu, ke Surabaya pernah saya lalui. Pahala Kencana bus yang kutumpangi melalui Lasem, Tuban, Lamongan, Surabaya. Maupun jalur tengah, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya.  Begitupula jalur kereta api, lintas selatan dan utara pernah dirasakan.  Termasuk estafet naik bus umum berpindah-pindah, dari Jawa Timur ke Bandung merupakan pengalaman penuh kesabaran dan perjuangan. 

Jawa Timur .... (**)

Selasa, 25 Mei 2010

Tentang Jalan Emosi


Share Sunday, 25 April 2010 at 23:43

Ketika kau tahu betapa mudahnya bagi seorang remaja
Remaja layaknya kita semua menemukan rasa dan sulit tuk hilangkannya
Layaknya sebuah tsunami yang telah meluluh lantahkan bumi
Memang tak terlihat air lagi namun terlihatkah puing-puing luka di wajah mereka


Sama layaknya kita sebagai remaja
Remaja yang tak pernah tahu apa yang harus dilakukan
Ketika mereka putus asa
Apakah harus memotong jari-jari mereka
Menyiapkan tali lalu bergantung dengan leher di tali tersebut
Ataukah terjun bebas tanpa parasut dari sebuah sutet
Hanya waktu yang dapat tersenyum melihat akhir dari sebuah nyawa

Ketika semua orang terdiam dan mentap takut
Seorang pemberani yang bodoh terjun bebas dari atas langit tempat menatap
Menghabiskan seluruh nafas yang tersisa tuk masuk ke dalam neraka
Pergi dan siap tuk dapatkan penderitaan yang lebih hebat
Salutkah kalian ?

Semua yang terjadi hanyalah karena rasa
Rasa yang tak dapat kita mengerti sebagai remaja
Rasa yang semua orang kagumi
Rasa yang semua orang nikmati
Dan rasa yang semua orang benci

Ketika mereka datang tak perlu kita beri surat tuk ia datang
Ketika ia pergi tak perlu kita menendang sekuatnya agar ia tak kembali
Lebah tak peduli dengan bunga yang indah ataupun buruk
Ia hanya merasakan madu mana yang ia akan dapatkan lebih banyak

Hingga sekarang apakah remaja mengerti ?
Apakah remaja tak menyendiri ketika gagal akan rasa itu ?
Apakah mereka kembali ingin rasakan itu ?
Semua yang terjadi hanyalah karena emosi
Emosi yang kita kutuk
Emosi yang kita banggakan
Dan Emosi yang terdiam dan tertawa karena semua yang kita lakukan

Penulis, Edmar Hoirurrijal, cucu, tinggal di Cijerah

PEMBELAJARAN 50 TAHUN PERNIKAHAN BAPAK DAN EMIH


Oleh: Hj. Tati Rahmayati

Dengan izin Alloh SWT, insya Alloh pada Rabu, 24 Februari 2010, usia pernikahan Bapak H. Handi Junaedi dan Emih Hj. Suaebah genap 50 tahun.

Tentu, ajaran Islam tidak mengenal perayaan ulang tahun. Tapi ada makna terpancar dari perjalanan panjang yang telah dijalani Bapak dan Emih sebagai nasihat dan pembelajaran cukup dahsyat dan menggugah bagi kita sebagai generasi selanjutnya tentang bagaimana rahasia meracik kehidupan rumah tangga Bapak dan Emih bisa kokoh, dinamis dan inspiratif.

Bagi saya yang genap 10 tahun (Nopember 2009 nanti) membangun rumah tangga sangat terinspirasi oleh perjalanan Bapak-Emih dalam motivasi, memberi energi positif dan mutawarik. Sosok keluarga dibangun bersahaja, optimis, terbuka dan hati-hati.

Kalau dicermati membangun rumah tangga itu bisa gampang dan susah. Bila diibaratkan seorang nakoda kapal dibantu asistennya, di samping harus pandai membaca arah tujuan, juga harus mampu memberi ketenangan dan kenyamanan kepada seluruh penumpang, sehingga kapal dapat berlabuh dengan selamat. Dalam perjalanan, kadangkala biduk pun terombang-ambing oleh terpaan angin taufan atau gelombang, bahkan kegaduhan di kalangan penumpang bisa mengganggu perjalanan.

Akan tetapi, bila masing-masing kru kapal egois, ingin tampak lebih superior dan tidak mau mengalah, niscaya kapal bisa karam sebelum menjangkau dermaga. Begitu pula rumah tangga karena hakikatnya menyatukan dua karakter individu berbeda. Hal itu bisa dilewati Bapak-Emih sehingga mampu melahirkan putra/i yang cerdas, taat, dan religius.

Perjalanan mengasuh, mendidik, dan merawat 8 putra/i, di tengah segala keterbatasan dan hambatan, Bapak-Emih bisa membebaskan tradisi kolot yang membelenggu masyarakat dulu. Bapak dan Emih sekuat tenaga memasukan putra/i nya ke sekolah formal, juga dijalur informal seperti: pengajian dibarengi sentuhan-sentuhan teladan sehingga menjadi cermin bagi kami. Cermin bagi sekitarnya.

Kesabaran, keteguhan dan ketelatenan begitu membumi. Tak pernah sekalipun raut wajah Bapak dan Emih merefleksikan rona marah atau kecut, tetapi selalu tersenyum menandakan rasa optimis luar biasa. Saya sendiri tak pernah mendengar perselisihan, percekcokan atau ungkapan nada tinggi yang terlontar.

Kalaupun ada sesuatu tidak suka, Bapak dan Emih lebih memilih diam, bukan mencerca, menghina atau mengumpat. Dengan begitu, segala riak kembali sejuk. Subhanalloh....

Itulah mahakarya pembelajaran bagi saya khususnya, juga bagi saudara yang lain untuk tak segan menimba pengalaman sebagai cermin bagi kita.

Tati Rahmayati,
tinggal di Surabaya.


Sumber; Booklet KBHJ, Edisi Juni 2009

MENGGAGAS KETAHANAN EKONOMI DALAM KBHJ


oleh: H. Ade Muhtar

Awal Agustus 2008, kita mendapat khabar gembira dengan pernikahan Luki, 5 Agustus 2008. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga besar orang tua kita, Bapak H. Handi Junaedi dan Ibu Hj. Suaebah telah menginjak ke generasi ketiga dan membuktikan betapa besar potensi dimilikinya.

Kabar sejuk lainnya adalah diterimanya Edisty di Farmasi ITB (kemudian memilih STAN Jakarta) dan Novita di Jurusan Bahasa Daerah UPI Bandung. Sebagai pertanda bahwa di masa mendatang akan lahir tambahan akademisi sehingga kian warna-warni.

Jika mulanya, keluarga kita mengarah pada dunia pendidikan dengan tampilnya generasi awal sebagai guru, dosen dan pakar pendidik, tren perkembangan kini amatlah berbhineka. Dalam sepuluh tahun ke depan bolehlah kita berharap, dalam KBHJ telah memiliki dokter, apoteker, ekonom, arsitek, jurnalis, pengusaha atau profesi lainnya.
Potensi besar tsb tentu sangat baik apabila dikelola dengan semangat kekeluargaan untuk memajukan keluarga besar kita khususnya maupun masyarakat umumnya. Syukur alhmadulillah gayung pun bersambut, rencana pendirian Usaha Bersama (UB) dalam keluarga besar kita telah terealisasi dengan berdirinya: Lotus Digital cabang Gg. Cempaka UPI Bandung, kemudian bermetamorfosa men-jadi UPIANA.

Kita berharap, UPIANA hanyalah suatu awal dari perjalanan panjang ke depan, karena kita menyadari bahwa tantangan ke depan semakin beragam dan semakin berat. Sebagai ilustrasi di bidang ketersediaan tenaga kerja, jika di tahun 1980-an, kakak kita H. Didi Suherdi dan Hj. Siti Maryam demikian mudahnya mendapatkan pekerjaan sebagai PNS, tidak demikian dengan generasi berikutnya. Setidaknya kita telah mempersiapkan suatu lapangan kerja yang dapat bermanfaat bagi keluarga kita maupun masyarakat pada umumnya.

Kita tentu sepakat bahwa kita tidak menjumpai kesulitan berarti saat kita menyelesaikan sedemikian rumitnya soal-soal dari SD hingga bangku kuliah. Kemampuan menyelesaikan masalah tersebut akan sangat berarti lagi jika kita mampu dapat bermanfaat bagi lingkungan, masyarakat dan bangsa ini pada umunya dengan penyediaan lapangan tenaga kerja.

Kisah sukses suatu keluarga dalam pengelolaan usaha telah demikian banyak. Nepotisme yang dikembangkan dengan baik telah melahirkan banyak keluarga sukses. Dalam skala nasional kita bisa melihat keluarga Bakrie, Kalla, Gudang Garam, Sampoerna, merupakan contoh menginspirasi kita. Dalam skala kecil (skala pagaden), Yayasan Syukur Sejahtera mengelola SMA Sejahtera Pagaden dimana 91% sahamnya dikuasai dua keluarga. Untuk itu sudah saatnya kita mengambil peran.

Kita pun berharap, keluarga besar dengan anggota penuh warma, adalah dinamika dan modal luar biasa. Dengan berhimpun dalam wadah ekonomi, bukan hanya mampu memberi peluang dan kesempatan lapangan kerja, juga mempererat silaturahim, pada akhirnya memperkokoh ketahanan ekonomi keluarga. Bersatu menggapai cita dalam rido Alloh. (**)

Penulis, putra kelima, praktisi ekonomi, dan tinggal di Jakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

DIBANJUR CAI ANGEUN HASEUM


Ku: Pupu Marfuah

Kuring sakola di tsanawiyah, ari adi kelas lima SD. Harita keuheul pisan ka adi, basa dititah meuli bahan kueh ka pasar teu nurut. Dipaksa-paksa oge kalah murengkel meulit kawas oray sanca, teu daek indit. Antukna aya cai sesa angeun haseum sisi meja diguyurkeun kana sirahna. Puass siah..

Kapaksa eleh deet, kuring miang ka pasar, panas ereng-erengan oge. Meuli bahan kueh, lumayan keur nambah-nambah biaya sakola. Kuring anteng nyieun kueh, ti mimiti ngocok endog, nyampurkeun tarigu nepi ka ngopen kueh.

Ari ras inget adi, gebeg..kuring reuwas asa boga dosa. Kuring langsung muka panto kamar, tapi adi teu kasampak. Kuring tatanya ka tatangga susuganan kawenehan jeung adi kuring, tapi weleh teu aya nu nyahoeun. Kuring ngagidig muru sobat dalitna, si Mustopa, tapi cenah geus lila tara ulin ka ditu.

Kamana atuh adi kuring teh? Kuring bingung, hanjakal sagede gunung. Naha ku naon atuh bet ngabanjur sirah adi ku cai angeun? Pasti ngambek, pundung terus kabur…
Deudeuh adi… hampura Eceu! Eta bakating kalangsu ku kesel!” gerentes hate. Teu karasa cai panon merebey maseuhan pipi. Kumaha pijawabeun kuring lamun Bapa jeung Emih seug mulang ti ondangan?

Wanci sareupna, rentang-rentang katingal adi kuring balik mapay galeng sawah bari niir belut opat siki.

“Tuh…si Wahyu, Pu!” ceuk wa Ami bari nunjuk ka adi kuring.

“Wahyuu..”si Endang mang Ucim mah ngagorowok. Barudak nu ngagimbung surak eak-eakan milu bungah pedah si Wahyu geus kapanggih. Gabrug nangkeup adi kuring bari sasadu dumareda.

“Hapunteun Eceu, nya. Eceu jangji moal rek sakali-kali deui deleka ka hidep,” ceuk kuring bari nyusut cimata. Ari si Wahyu ngan hulang huleng wae teu ngarti aya naon mani ibur salembur ear sajagat, manehna jiga pahlawan bae. Malah si Entin, si Nunung, jeung si Ikoh mah teu eureun-eureun nyebutkeun cenah, “Hidup wahyu… hidup wahyu…”

“Abdi mah ti bada sakola ge tos niat bade ngurek belut. Tah ieu belutna kenging opat,” cenah ngomongna polos ngaleos ka jamban tukangeun imah rek ngolahan belut.

Ayeuna si Wahyu geus jadi bos fotokopi. Lamun pareng botram atawa parasmanan dina acara arisan kulawarga sok mindengan sindir-sampir,”Kade ah bahe angeun teh ka mastaka abdi.” Kuring saukur mesem.

Pupu Marfuah
Gg. Campaka- Gerlong Girang
Isola - Bandung

(dimuat di Mangle No. 2213 hal 68).

PRAMUKA


oleh: Edistia Maulida Sholihah

Panas terik sang surya membakar kami, para Pramuka Penggalang. Ingin pingsan rasanya. Kulitku semakin legam. Suara kakak instruktur seakan memekak telinga. Rekan-rekan tampak bersemangat berlatih, kecuali aku.

Hampir sebulan sudah aku ikut ekskul ini. Bosan. Ingin aku keluar saja. Tapi gimana kata teman-teman? Aku kan pemimpin regu.

Aku lemas dan tak bersemangat. Saat perjalanan pulang, Dinan kawanku mencoba menghiburku. Tak disadari meluncur ucapan:
“Eh, Dinan. Keluar Pramuka, yuk?”
“Keluar? Mengapa?” Dinan kaget dan balik bertanya.
“Nggak, aku cuma malas saja..” seruku.
“Malas? Siapa suruh masuk Pramuka? Lebih baik berkata tidak sejak awal,” ucap Dinan kesal.
“kenapa begitu bicaranya, kak?” seruku gemetaran, takut Dinan tersinggung.
“Nggak! aku hanya kesal. Kamu tidak tahu bahwa Pramuka banyak manfaatnya..” jelasnya. “Manfaat? Manfaat apa?”
“ Agar kita berdisiplin, mandiri, dan lain-lain..”
“Resikonya?” tuturku.
“Capekkk!” kata Dinan dengan nada tinggi. Aku terdiam. Aku ingin minta maaf tapi mulutku terkunci. Sepanjang perjalanan kami berdua saling membisu.

Hari Sabtu aku mencari Dinan. Tapi tidak kutemukan. Hingga kudapatkan di ruang aula.
“Ada apa mencariku?” ujar Dinan sinis.
“Aku tidak jadi keluar pramuka. Aku minta maaf membuatmu kesal,” kataku.

Ia terdiam. Ia tersenyum padaku.

“Aku juga minta maaf telah kesal padamu..” kata Dinan. Aku menggeleng. Aku memahami bahwa Pramuka bermanfaat memberi kecakapan hidup bagi generasi muda. Ayah dan ibuku dulu aktif di Pramuka. Tak heran hingga kini dikenal ulet, rajin dan disiplin. Hingga tak kusadari kukepalkan tanganku dan berteriak, “Hidup Pramuka,”.

Edistia Maulida Solihah,
Pemenang III Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang

Penulis, cucu, putri kelima, keluarga putri kedua, tinggal di Melongasih.

Sumber:
Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

MERAIH CITA-CITA


oleh: SUMAYA FUADANA

Cita-cita saya ingin menjadi penulis. Mengapa? Karena saya melihat seorang penulis memiliki kebanggaan, apalagi tulisannya disenangi oleh penggemarnya.

Menjadi penulis itu merupakan suatu keharusan bagi saya. Saya lebih suka novel terjemahan dibanding novel Indonesia. Menurutku, novel terjemahan lebih terbuka tentang kehidupan remaja. Maka dari itu saya ingin membuat karya lebih bagus dari novel terjemahan.

Bila ingin menjadi penulis, saya harus tahan menghadapi kritikan dari publik karena pasti ada orang memuji, menghargai tapi tidak sedikit yang kecewa bahkan mengeritik pedas. Sebagai penulis kritik adalah bentuk pelajaran bagi kita supaya kita berkarya lebih baik lagi.

Maka dari itu, saya meminta kritikan bagi tulisan ini. Dengan dorongan dan pelecut diri mendorong saya untuk memperbaiki diri, tahan banting dengan terus berkarya.

Sumaya Fuadana
Pemenang II Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang

Penulis, cucu anak keempat putra pertama H. Handi J tinggal di Lembang
Sumber: Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

AGAR BERAT BADAN JANGAN NAIK TERUS


Berat badan saya sudah lebih dari 45 kg. Tapi tinggi saya nggak naik-naik. Dalam satu bulan badan bisa naik sampai 1,5 kg, tapi tinggi tidak naik 0,5 mm pun. Pertumbuhan malah ke samping bukan ke atas. Makanya badan saya terlihat bulat kayak bola pingpong.

Ingin berat badan kamu terus naik? Ikuti kebiasa-an saya di bawah ini!

Bila abis bangun tidur langsung makan diteruskan ngemil. Lalu makan lagi dan ngemil lagi hingga sore hari.
Hindarilah diet karena bisa membuat berat badanmu turun. Makanlah makanan yang banyak mengandung lemak tapi tetap harus sehat.

Itu dulu. Sekarang sadar, lho! Agar sehat perbanyaklah makanan empat sehat lima sempurna. Ingat!!! Jangan terlalu banyak ngemil karena akan menyebabkan gendut. Gendut itu nggak sehat. Gendut itu berbahaya dan kurang sedap dipandang mata, kan yah?

Kalo emang gak mau gendut ya syaratnya cuma satu yakni diet. Tapi ingat kalo diet harus yang benar. Pertama kita harus rutin sarapan. Banyaklah sayuran dan buah-buahan, juga minum air putih dan olahraga. Makan daging sekali-kali boleh, tapi bagusnya ikan. Kalo gak makan seharian alias puasa terus itu bukan diet tapi “Neangan Panyakit”.

Berliani Nuraghniya
Cucu, Anak kedua Putri Ketiga
Pemenang I Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang


Sumber: Dimuat di Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

Sabtu, 01 Mei 2010

Ayah Penuh Optimis dan Bersahaja itu telah Pergi

Ayahku, H. Handi Junaedi, sosok ayah yang tangguh dari 8 anak, 39 cucu & 1 cicit telah meninggalkan kita, hari Selasa, 6 April 2010 pukul 22.30 WIB (usia 68 tahun) di RSHS Bandung. Sosok insan yang taat, sederhana, murah senyum dan optimis adalah sumber inspirasi dan figur bagi anak cucunya bahkan masyarakat di sekelilingnya. Hari-hari terakhir saya bersama ayahku, kuungkapkan dalam notes ini melengkapi tulisan saya sebelumnya dimuat di beberapa media cetak (dapat diakses di notes fb ini), sebagai ungkapan hati, sharing dan memberi pesan positif bagi keluarga muda sepertiku.

Hujan rintik-rintik di hari Selasa, 6 April 2010. Adan Magrib baru saja usai. Sehabis mengambil air wudu untuk salat Magrib, saya melihat hp nada deringnya "diam" itu menyala, pertanda ada sms masuk. Setelah kubuka, dari kedua kakak perempuanku menerangkan bahwa ayah sedang berada di UGD RSHS. Sms terus menerus masuk. Bada magrib awalnya saya hendaknya pergi ke pengajian. Karena ada sms itu kebetulan sy dititipin barang penting, sy bergegas menemui kawan dan menitipkan amanat lalu mohon izin. Setelah itu langsung meluncur ke RSHS.

Seminggu sebelumnya, hari Rabu (31/3), saya ke Melongasih menemui ayah. Rasa sesak diderita ayah membuatku bergegas meninggalkan kesibukan di pekerjaan tuk menemani ayah pergi ke dokter. Tapi ayah mengatakan bahwa dirinya merasa sehat. Ia berujar bahwa beliau akan chek up di Subang saja, sekalian, karena hari Minggu ada yang hajatan kerabat. Pada kesempatan ini saya sengaja membundel karya-karya ayah juga saudara2ku dan saya sendiri berupa karya tulis barakatak (humor) di Mangle untuk diberikan pada ayah. Ayah pun membaca karyanya dalam bundel itu dengan sesekali tersenyum.

Tiba-tiba ayah menawarkan burung parkit piaraannya untukku. Katanya kasihan, selalu ditinggal ayah. Tapi kutolak halus, karena jangankan burung makanannya khas kunyit, yang makan beras saja seperti tekukur atau puter aku kewalahan. "Kalo begitu, ayah berikan pada cucu di Subang aja," ujarnya. "Oh, betul. Bagus!" kataku. Sepasang burung parkitpun dibawa ke Subang untuk salah satu cucunya.

Sepulang ibadah haji, 2005 Ayah tinggal di Melongasih, Cimahi. Ia berencana pulang kampung sebentar untuk memenuhi undangan kerabatnya di hari Minggu (7/4) sambil berobat ke dr. Husni di Subang. Di Pagaden, ayah sempat berkumpul dengan kerabat dan kawan lama. Di hari Sabtu, ayah pun sempat mengecat kamar khusus untuk pulang kampung, sebab sisanya dibuat kamar-kamar dan dikontrakan. Di hari Minggu sempat memenuhi undangan pagi dan sore kenduri. Sebuah pulang kampung "pamitan" bagi kerabat dan kenalan di kampung halamannya.

Tiba jam 19.30 di UGD RSHS, saya menemui ayahku di ruang resitusi 6. Di sana ada ibuku, Saudara2ku menunggu di luar, karena penunggu dibatasi satu orang. Ayah menyapa seraya tersenyum. "Kehujanan dimana?" kata Ayah sembari menahan rasa sakitnya mencoba tersenyum padaku. "Dari Cicaheum. Hujan besar sekali dan macet! Tapi sudah biasa," kataku. Berdasarkan keterangan saudaraku, kondisi ayah drop sejak di Subang. Tapi ayah menyembunyikan kondisi itu dengan tenang. Untunglah kakakku di Lembang meluncur menjemput ayah. Itu berawal dari laporan ibu yg tanpa sepengetahuan ayah menginformasikan kondisi ayah di kampung halamannya.

Hari itu semua kamar rawat penuh. Ayahpun sempat berujar, "Gimana dan, sudah ada kamar rawat?" Aku menggangguk. Ayah pun memejamkan matanya. Ia menahan sakit amat. Tapi terbangun lagi. Aku yakinkan kamar pasti dapat dan ayah banyaklah berdoa agar semua lancar. Satu kekaguman, dibalik rasa sakit ayah tegar, terus berdoa dengan mengucapkan kalimat dzikir, allohu akbar, astagfirulloh dan laa ilaaha illalloh. Ketenangan dan rasa sabar ayah kusaksikan sendiri.

Dalam diagnosa dokter, pembuluh darah ayahku dua tersumbat dan harus dilakukan tindakan segera. Saudara2ku bermusyawaroh dan setuju untuk memberikan upaya maksimal bagi keselamatan ayah. Jam 21.00, saya ditemani kakak pertamaku mambawa ayah ke ruang tindakan (kamar operasi). Di sini ayah mengalami pemerikasaan EKG lagi.

Tiba-tiba tim dokter memberikan informasi bahwa ketiga pembuluh darah di jantung ayah sudah 99% tersumbat. Cara satu-satunya pemasangan ring (katarsis) melalui pembuluh darah setelah melalui pembukaan pembuluh dengan memasukan balon. Meski biaya cukup mahal, sesuai komitmen awal, demi terbaik bagi ayah, kami sepakati. Dengan cara ini, kalau berhasil penderita jantung koroner akan merasakan lebih baik. Sebaliknya, tingkat kegagalan pun tinggi juga 50: 50. Begitulah keterangan tim dokter. Aku dan kakakku menyetujui dan menandatangani surat itu.

Hampir satu jam ditemani anak-anaknya, ayah melewati pembukaan pembuluh darah melalui pemompaan balon. Kami berdoa memohon kepada Alloh SWT. Tiba-tiba kepala tim keluar dan mengutarakan bahwa pembuluh ayah terlalu kecil tidak memungkin dimasukan ring dan jantungnya sangat lemah. Sambil meninggalkan kami, dokter berkata: Hanya mukjizat yang bisa menyembuhkan.

Kami langsung meminta izin. Tim dokter mengatakan, secara medis kondisi ayah sudah dikatakan berhenti. Artinya gerakan nafas ayah hanya ditopang alat. Kami pun memutuskan untuk mencabut alat-alat itu. Ayah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Allohummajurni fii musibatii waakhlifhi khorium minha..." Kami semua tegar, termasuk ibuku. Tidak ada histeris, meskipun sisi manusiawi membawa kami meneteskan air mata. Kami pun mengucapkan trimakasih kepada tim dokter yang telah berjuang sekuat tenaga. Manusia hanya berupaya, tapi Alloh SWT yang menentukan.

Berita pun cepat tersiar, termasuk ke karabat ayah di kampung dan kolega di berbagai tempat. Kami minta segera jenazah ayah dibawa pulang untuk dimandikan di rumah. Proses pun tak lama, saya dan kakakku menandatangani administrasi dari kamar jenazah dan langsung dibawa ambulans.

Saya, dan saudara2ku ikut memandikan, mengafani, menyalati hingga memakamkan. Insya alloh, Ayah meninggal dalam husnul khotimah. Ucapan dizikir terlontar dari bibir ayah, saya saksikan sendiri hingga akhir hayatnya. Ayah disolati lebih dari 500 jamaah dalam beberapa shif yang sengaja datang tuk mengantar kepergiaan ayah. Perjalanan hidup ayah (terdokumentasi di blog ini : Kisah Ayah di Intisari dan Kisah Ayahku di Seri Galamedia-) penuh kesederhanaan, sopan dalam bertutur, tidak pernah marah, optimis, juga hamba taat.

Sederhana membuat ayah selalu realistis. Ayah tidak pernah bermimpi muluk-muluk dalam hal keduniawiaan. Ayah cukup bangga dengan radio lamanya dan tipi hitam putih yang nongkrong bertahun-tahun. Ayah lebih mementingkan urgensi fungsi ketimbang seni bila membeli barang atau perabotan. Ayah tidak pernah memiliki sepeda atau motor, sehingga anak-anaknya hampir semuanya tidak cakap mengendarainya sebelum mampu membelinya sendiri. Ini karena ada pesan ayah,"jangan mengendarai kendaraan orang lain kalau belum punya sendiri," Ayah pun pandai menabung. Tapi ia tidak kenal bank, insya alloh tidak memiliki utang sesuai prinsip dipegang teguh ayah. Ia menyimpan diberbagai tempat yang tidak mencurigakan (terdokumentasi di Majalah  Intisari Cara unik Ayah Menabung). Sepeninggal ayah, banyak kotak-kotak berisi recehan dan uang ribuan disimpan di tempat-tempat tertentu.

Sopan dalam bertutur, membuat ayah amat dirindukan cucu-cucunya. Juga masyarakat di kampung halaman dan tempat tinggalnya di Bandung. Semua cucunya merasa kehilangan sosok kakek yang cukup hangat dengan humornya, suka memberi hadiah dan pandai bercerita menghibur insan-insan kecil.

Optimis, meskipun kondisi finansial terbatas, sebagai tukang cukur tradisional, ayah berhasil melahirkan satu orang profesor, satu orang doktor, satu orang magister dan sisanya sarjana S1. Semua ini berkat kerja keras ayah dan tentunya izin Yang Mahakuasa.

Bersyukur dan berderma, ayah selalu mengucapkan tahmid dan alhamdulillah jaza kumullohu khoirooh, sebagai rasa syukur pada sesama insan dan mendermakan harta dimilikinya baik di lingkungan tetangga maupun kerabatnya di kampung. Bahkan rela ngebosi keperluan saudara-saudaranya kurang beruntung.

Tapi untuk urusan masa depan, ayahku seorang futuristik (menjangkauuuu jauhh ke depan). Ayahku bertekad menyekolahkan anaknya sampai mentok (dari segi biaya), alhamdulillah beberapa anaknya sampai ke jenjang paling tinggi di S3. Termasuk do'anya ingin menunaikan ibadah haji, sesuatu yg hampir mustahil di mata manusia, jikalau melihat sisi materi belaka, tapi tidak dimata Alloh. Alloh memberangkatkan melalui kado putra/i-nya, sehingga ayah dan ibu bisa menunaikan rukun Islam kelima di thn 2005.

Itulah kisah tentang ayah, bukan maksud kami menyombongkan diri, sesungguhnya yang berhak sombong itu hanyalah Alloh SWT dengan sifatnya Al-Mutakabbir. Tapi terbersit tuk berbagi segenggam kisah menginspirasi bagi sesama insan bahwa hidup ini butuh kerja keras dan perjuangan, tetapi harus rendah hati (tawadhu), hati-hati (mutawarik) dan tentu tidak melupakan ibadah kepadaNya.

Kami mohon maaf atas kesalahan dilakukan ayah selama hidupnya yang mungkin tidak berkenan terutama tetangga dan kawan-kawannya. Insya alloh, ayah telah memaafkan lebih dulu kesalahan saudara.

Ya Alloh. Ampunilah segala dosa, kesalahan dan khilaf ayahku. Terangilah alam kuburnya. Berilah kemulyaan dan tempatkanlah di tempat terhormat dan terpuji.

Penulis, Dadan Wahyudin (anak kelima)




Pesan Duka (dedicated to my grandfather)


karya Edmar Hoirurrijal (cucu anak putri keduanya)


Saat langit menghitam
Kukumandangkan sebuah pesan ke segala penjuru
Agar do'a terpanjat untuk seorang pahlawan
Pahlawan yang terbaring tak berdaya

Tak jauh jarum jam bergeser
Langit menangis diiringi nyanyian sendu para pemuja
Ia yang berjasa
Ia yang tercinta
Kini telah pergi untuk selamanya

Banjir air mata suci telah hadir
Nyanyian sendu nan syahdu berisi do'a telah bergema
Untuk dirinya yang telah berjuang
Hadapi duri kehidupan dan hasilkan mutiara-mutiara terindah

Malaikat...
Tolong jaga dirinya hingga menghadap
Ajarannya melekat dalam jiwa kami tuk beramal
Hadapkan dirinya pada keselamatan
Katakan pada dirinya
Setiap insan cepat atau lambat bakal menyusulmu

Penulis Kumpulan Puisi "Cermin Hati", Celtics : 2000