PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Selasa, 25 Mei 2010

Tentang Jalan Emosi


Share Sunday, 25 April 2010 at 23:43

Ketika kau tahu betapa mudahnya bagi seorang remaja
Remaja layaknya kita semua menemukan rasa dan sulit tuk hilangkannya
Layaknya sebuah tsunami yang telah meluluh lantahkan bumi
Memang tak terlihat air lagi namun terlihatkah puing-puing luka di wajah mereka


Sama layaknya kita sebagai remaja
Remaja yang tak pernah tahu apa yang harus dilakukan
Ketika mereka putus asa
Apakah harus memotong jari-jari mereka
Menyiapkan tali lalu bergantung dengan leher di tali tersebut
Ataukah terjun bebas tanpa parasut dari sebuah sutet
Hanya waktu yang dapat tersenyum melihat akhir dari sebuah nyawa

Ketika semua orang terdiam dan mentap takut
Seorang pemberani yang bodoh terjun bebas dari atas langit tempat menatap
Menghabiskan seluruh nafas yang tersisa tuk masuk ke dalam neraka
Pergi dan siap tuk dapatkan penderitaan yang lebih hebat
Salutkah kalian ?

Semua yang terjadi hanyalah karena rasa
Rasa yang tak dapat kita mengerti sebagai remaja
Rasa yang semua orang kagumi
Rasa yang semua orang nikmati
Dan rasa yang semua orang benci

Ketika mereka datang tak perlu kita beri surat tuk ia datang
Ketika ia pergi tak perlu kita menendang sekuatnya agar ia tak kembali
Lebah tak peduli dengan bunga yang indah ataupun buruk
Ia hanya merasakan madu mana yang ia akan dapatkan lebih banyak

Hingga sekarang apakah remaja mengerti ?
Apakah remaja tak menyendiri ketika gagal akan rasa itu ?
Apakah mereka kembali ingin rasakan itu ?
Semua yang terjadi hanyalah karena emosi
Emosi yang kita kutuk
Emosi yang kita banggakan
Dan Emosi yang terdiam dan tertawa karena semua yang kita lakukan

Penulis, Edmar Hoirurrijal, cucu, tinggal di Cijerah

PEMBELAJARAN 50 TAHUN PERNIKAHAN BAPAK DAN EMIH


Oleh: Hj. Tati Rahmayati

Dengan izin Alloh SWT, insya Alloh pada Rabu, 24 Februari 2010, usia pernikahan Bapak H. Handi Junaedi dan Emih Hj. Suaebah genap 50 tahun.

Tentu, ajaran Islam tidak mengenal perayaan ulang tahun. Tapi ada makna terpancar dari perjalanan panjang yang telah dijalani Bapak dan Emih sebagai nasihat dan pembelajaran cukup dahsyat dan menggugah bagi kita sebagai generasi selanjutnya tentang bagaimana rahasia meracik kehidupan rumah tangga Bapak dan Emih bisa kokoh, dinamis dan inspiratif.

Bagi saya yang genap 10 tahun (Nopember 2009 nanti) membangun rumah tangga sangat terinspirasi oleh perjalanan Bapak-Emih dalam motivasi, memberi energi positif dan mutawarik. Sosok keluarga dibangun bersahaja, optimis, terbuka dan hati-hati.

Kalau dicermati membangun rumah tangga itu bisa gampang dan susah. Bila diibaratkan seorang nakoda kapal dibantu asistennya, di samping harus pandai membaca arah tujuan, juga harus mampu memberi ketenangan dan kenyamanan kepada seluruh penumpang, sehingga kapal dapat berlabuh dengan selamat. Dalam perjalanan, kadangkala biduk pun terombang-ambing oleh terpaan angin taufan atau gelombang, bahkan kegaduhan di kalangan penumpang bisa mengganggu perjalanan.

Akan tetapi, bila masing-masing kru kapal egois, ingin tampak lebih superior dan tidak mau mengalah, niscaya kapal bisa karam sebelum menjangkau dermaga. Begitu pula rumah tangga karena hakikatnya menyatukan dua karakter individu berbeda. Hal itu bisa dilewati Bapak-Emih sehingga mampu melahirkan putra/i yang cerdas, taat, dan religius.

Perjalanan mengasuh, mendidik, dan merawat 8 putra/i, di tengah segala keterbatasan dan hambatan, Bapak-Emih bisa membebaskan tradisi kolot yang membelenggu masyarakat dulu. Bapak dan Emih sekuat tenaga memasukan putra/i nya ke sekolah formal, juga dijalur informal seperti: pengajian dibarengi sentuhan-sentuhan teladan sehingga menjadi cermin bagi kami. Cermin bagi sekitarnya.

Kesabaran, keteguhan dan ketelatenan begitu membumi. Tak pernah sekalipun raut wajah Bapak dan Emih merefleksikan rona marah atau kecut, tetapi selalu tersenyum menandakan rasa optimis luar biasa. Saya sendiri tak pernah mendengar perselisihan, percekcokan atau ungkapan nada tinggi yang terlontar.

Kalaupun ada sesuatu tidak suka, Bapak dan Emih lebih memilih diam, bukan mencerca, menghina atau mengumpat. Dengan begitu, segala riak kembali sejuk. Subhanalloh....

Itulah mahakarya pembelajaran bagi saya khususnya, juga bagi saudara yang lain untuk tak segan menimba pengalaman sebagai cermin bagi kita.

Tati Rahmayati,
tinggal di Surabaya.


Sumber; Booklet KBHJ, Edisi Juni 2009

MENGGAGAS KETAHANAN EKONOMI DALAM KBHJ


oleh: H. Ade Muhtar

Awal Agustus 2008, kita mendapat khabar gembira dengan pernikahan Luki, 5 Agustus 2008. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga besar orang tua kita, Bapak H. Handi Junaedi dan Ibu Hj. Suaebah telah menginjak ke generasi ketiga dan membuktikan betapa besar potensi dimilikinya.

Kabar sejuk lainnya adalah diterimanya Edisty di Farmasi ITB (kemudian memilih STAN Jakarta) dan Novita di Jurusan Bahasa Daerah UPI Bandung. Sebagai pertanda bahwa di masa mendatang akan lahir tambahan akademisi sehingga kian warna-warni.

Jika mulanya, keluarga kita mengarah pada dunia pendidikan dengan tampilnya generasi awal sebagai guru, dosen dan pakar pendidik, tren perkembangan kini amatlah berbhineka. Dalam sepuluh tahun ke depan bolehlah kita berharap, dalam KBHJ telah memiliki dokter, apoteker, ekonom, arsitek, jurnalis, pengusaha atau profesi lainnya.
Potensi besar tsb tentu sangat baik apabila dikelola dengan semangat kekeluargaan untuk memajukan keluarga besar kita khususnya maupun masyarakat umumnya. Syukur alhmadulillah gayung pun bersambut, rencana pendirian Usaha Bersama (UB) dalam keluarga besar kita telah terealisasi dengan berdirinya: Lotus Digital cabang Gg. Cempaka UPI Bandung, kemudian bermetamorfosa men-jadi UPIANA.

Kita berharap, UPIANA hanyalah suatu awal dari perjalanan panjang ke depan, karena kita menyadari bahwa tantangan ke depan semakin beragam dan semakin berat. Sebagai ilustrasi di bidang ketersediaan tenaga kerja, jika di tahun 1980-an, kakak kita H. Didi Suherdi dan Hj. Siti Maryam demikian mudahnya mendapatkan pekerjaan sebagai PNS, tidak demikian dengan generasi berikutnya. Setidaknya kita telah mempersiapkan suatu lapangan kerja yang dapat bermanfaat bagi keluarga kita maupun masyarakat pada umumnya.

Kita tentu sepakat bahwa kita tidak menjumpai kesulitan berarti saat kita menyelesaikan sedemikian rumitnya soal-soal dari SD hingga bangku kuliah. Kemampuan menyelesaikan masalah tersebut akan sangat berarti lagi jika kita mampu dapat bermanfaat bagi lingkungan, masyarakat dan bangsa ini pada umunya dengan penyediaan lapangan tenaga kerja.

Kisah sukses suatu keluarga dalam pengelolaan usaha telah demikian banyak. Nepotisme yang dikembangkan dengan baik telah melahirkan banyak keluarga sukses. Dalam skala nasional kita bisa melihat keluarga Bakrie, Kalla, Gudang Garam, Sampoerna, merupakan contoh menginspirasi kita. Dalam skala kecil (skala pagaden), Yayasan Syukur Sejahtera mengelola SMA Sejahtera Pagaden dimana 91% sahamnya dikuasai dua keluarga. Untuk itu sudah saatnya kita mengambil peran.

Kita pun berharap, keluarga besar dengan anggota penuh warma, adalah dinamika dan modal luar biasa. Dengan berhimpun dalam wadah ekonomi, bukan hanya mampu memberi peluang dan kesempatan lapangan kerja, juga mempererat silaturahim, pada akhirnya memperkokoh ketahanan ekonomi keluarga. Bersatu menggapai cita dalam rido Alloh. (**)

Penulis, putra kelima, praktisi ekonomi, dan tinggal di Jakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

DIBANJUR CAI ANGEUN HASEUM


Ku: Pupu Marfuah

Kuring sakola di tsanawiyah, ari adi kelas lima SD. Harita keuheul pisan ka adi, basa dititah meuli bahan kueh ka pasar teu nurut. Dipaksa-paksa oge kalah murengkel meulit kawas oray sanca, teu daek indit. Antukna aya cai sesa angeun haseum sisi meja diguyurkeun kana sirahna. Puass siah..

Kapaksa eleh deet, kuring miang ka pasar, panas ereng-erengan oge. Meuli bahan kueh, lumayan keur nambah-nambah biaya sakola. Kuring anteng nyieun kueh, ti mimiti ngocok endog, nyampurkeun tarigu nepi ka ngopen kueh.

Ari ras inget adi, gebeg..kuring reuwas asa boga dosa. Kuring langsung muka panto kamar, tapi adi teu kasampak. Kuring tatanya ka tatangga susuganan kawenehan jeung adi kuring, tapi weleh teu aya nu nyahoeun. Kuring ngagidig muru sobat dalitna, si Mustopa, tapi cenah geus lila tara ulin ka ditu.

Kamana atuh adi kuring teh? Kuring bingung, hanjakal sagede gunung. Naha ku naon atuh bet ngabanjur sirah adi ku cai angeun? Pasti ngambek, pundung terus kabur…
Deudeuh adi… hampura Eceu! Eta bakating kalangsu ku kesel!” gerentes hate. Teu karasa cai panon merebey maseuhan pipi. Kumaha pijawabeun kuring lamun Bapa jeung Emih seug mulang ti ondangan?

Wanci sareupna, rentang-rentang katingal adi kuring balik mapay galeng sawah bari niir belut opat siki.

“Tuh…si Wahyu, Pu!” ceuk wa Ami bari nunjuk ka adi kuring.

“Wahyuu..”si Endang mang Ucim mah ngagorowok. Barudak nu ngagimbung surak eak-eakan milu bungah pedah si Wahyu geus kapanggih. Gabrug nangkeup adi kuring bari sasadu dumareda.

“Hapunteun Eceu, nya. Eceu jangji moal rek sakali-kali deui deleka ka hidep,” ceuk kuring bari nyusut cimata. Ari si Wahyu ngan hulang huleng wae teu ngarti aya naon mani ibur salembur ear sajagat, manehna jiga pahlawan bae. Malah si Entin, si Nunung, jeung si Ikoh mah teu eureun-eureun nyebutkeun cenah, “Hidup wahyu… hidup wahyu…”

“Abdi mah ti bada sakola ge tos niat bade ngurek belut. Tah ieu belutna kenging opat,” cenah ngomongna polos ngaleos ka jamban tukangeun imah rek ngolahan belut.

Ayeuna si Wahyu geus jadi bos fotokopi. Lamun pareng botram atawa parasmanan dina acara arisan kulawarga sok mindengan sindir-sampir,”Kade ah bahe angeun teh ka mastaka abdi.” Kuring saukur mesem.

Pupu Marfuah
Gg. Campaka- Gerlong Girang
Isola - Bandung

(dimuat di Mangle No. 2213 hal 68).

PRAMUKA


oleh: Edistia Maulida Sholihah

Panas terik sang surya membakar kami, para Pramuka Penggalang. Ingin pingsan rasanya. Kulitku semakin legam. Suara kakak instruktur seakan memekak telinga. Rekan-rekan tampak bersemangat berlatih, kecuali aku.

Hampir sebulan sudah aku ikut ekskul ini. Bosan. Ingin aku keluar saja. Tapi gimana kata teman-teman? Aku kan pemimpin regu.

Aku lemas dan tak bersemangat. Saat perjalanan pulang, Dinan kawanku mencoba menghiburku. Tak disadari meluncur ucapan:
“Eh, Dinan. Keluar Pramuka, yuk?”
“Keluar? Mengapa?” Dinan kaget dan balik bertanya.
“Nggak, aku cuma malas saja..” seruku.
“Malas? Siapa suruh masuk Pramuka? Lebih baik berkata tidak sejak awal,” ucap Dinan kesal.
“kenapa begitu bicaranya, kak?” seruku gemetaran, takut Dinan tersinggung.
“Nggak! aku hanya kesal. Kamu tidak tahu bahwa Pramuka banyak manfaatnya..” jelasnya. “Manfaat? Manfaat apa?”
“ Agar kita berdisiplin, mandiri, dan lain-lain..”
“Resikonya?” tuturku.
“Capekkk!” kata Dinan dengan nada tinggi. Aku terdiam. Aku ingin minta maaf tapi mulutku terkunci. Sepanjang perjalanan kami berdua saling membisu.

Hari Sabtu aku mencari Dinan. Tapi tidak kutemukan. Hingga kudapatkan di ruang aula.
“Ada apa mencariku?” ujar Dinan sinis.
“Aku tidak jadi keluar pramuka. Aku minta maaf membuatmu kesal,” kataku.

Ia terdiam. Ia tersenyum padaku.

“Aku juga minta maaf telah kesal padamu..” kata Dinan. Aku menggeleng. Aku memahami bahwa Pramuka bermanfaat memberi kecakapan hidup bagi generasi muda. Ayah dan ibuku dulu aktif di Pramuka. Tak heran hingga kini dikenal ulet, rajin dan disiplin. Hingga tak kusadari kukepalkan tanganku dan berteriak, “Hidup Pramuka,”.

Edistia Maulida Solihah,
Pemenang III Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang

Penulis, cucu, putri kelima, keluarga putri kedua, tinggal di Melongasih.

Sumber:
Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

MERAIH CITA-CITA


oleh: SUMAYA FUADANA

Cita-cita saya ingin menjadi penulis. Mengapa? Karena saya melihat seorang penulis memiliki kebanggaan, apalagi tulisannya disenangi oleh penggemarnya.

Menjadi penulis itu merupakan suatu keharusan bagi saya. Saya lebih suka novel terjemahan dibanding novel Indonesia. Menurutku, novel terjemahan lebih terbuka tentang kehidupan remaja. Maka dari itu saya ingin membuat karya lebih bagus dari novel terjemahan.

Bila ingin menjadi penulis, saya harus tahan menghadapi kritikan dari publik karena pasti ada orang memuji, menghargai tapi tidak sedikit yang kecewa bahkan mengeritik pedas. Sebagai penulis kritik adalah bentuk pelajaran bagi kita supaya kita berkarya lebih baik lagi.

Maka dari itu, saya meminta kritikan bagi tulisan ini. Dengan dorongan dan pelecut diri mendorong saya untuk memperbaiki diri, tahan banting dengan terus berkarya.

Sumaya Fuadana
Pemenang II Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang

Penulis, cucu anak keempat putra pertama H. Handi J tinggal di Lembang
Sumber: Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

AGAR BERAT BADAN JANGAN NAIK TERUS


Berat badan saya sudah lebih dari 45 kg. Tapi tinggi saya nggak naik-naik. Dalam satu bulan badan bisa naik sampai 1,5 kg, tapi tinggi tidak naik 0,5 mm pun. Pertumbuhan malah ke samping bukan ke atas. Makanya badan saya terlihat bulat kayak bola pingpong.

Ingin berat badan kamu terus naik? Ikuti kebiasa-an saya di bawah ini!

Bila abis bangun tidur langsung makan diteruskan ngemil. Lalu makan lagi dan ngemil lagi hingga sore hari.
Hindarilah diet karena bisa membuat berat badanmu turun. Makanlah makanan yang banyak mengandung lemak tapi tetap harus sehat.

Itu dulu. Sekarang sadar, lho! Agar sehat perbanyaklah makanan empat sehat lima sempurna. Ingat!!! Jangan terlalu banyak ngemil karena akan menyebabkan gendut. Gendut itu nggak sehat. Gendut itu berbahaya dan kurang sedap dipandang mata, kan yah?

Kalo emang gak mau gendut ya syaratnya cuma satu yakni diet. Tapi ingat kalo diet harus yang benar. Pertama kita harus rutin sarapan. Banyaklah sayuran dan buah-buahan, juga minum air putih dan olahraga. Makan daging sekali-kali boleh, tapi bagusnya ikan. Kalo gak makan seharian alias puasa terus itu bukan diet tapi “Neangan Panyakit”.

Berliani Nuraghniya
Cucu, Anak kedua Putri Ketiga
Pemenang I Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang


Sumber: Dimuat di Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

Sabtu, 01 Mei 2010

Ayah Penuh Optimis dan Bersahaja itu telah Pergi

Ayahku, H. Handi Junaedi, sosok ayah yang tangguh dari 8 anak, 39 cucu & 1 cicit telah meninggalkan kita, hari Selasa, 6 April 2010 pukul 22.30 WIB (usia 68 tahun) di RSHS Bandung. Sosok insan yang taat, sederhana, murah senyum dan optimis adalah sumber inspirasi dan figur bagi anak cucunya bahkan masyarakat di sekelilingnya. Hari-hari terakhir saya bersama ayahku, kuungkapkan dalam notes ini melengkapi tulisan saya sebelumnya dimuat di beberapa media cetak (dapat diakses di notes fb ini), sebagai ungkapan hati, sharing dan memberi pesan positif bagi keluarga muda sepertiku.

Hujan rintik-rintik di hari Selasa, 6 April 2010. Adan Magrib baru saja usai. Sehabis mengambil air wudu untuk salat Magrib, saya melihat hp nada deringnya "diam" itu menyala, pertanda ada sms masuk. Setelah kubuka, dari kedua kakak perempuanku menerangkan bahwa ayah sedang berada di UGD RSHS. Sms terus menerus masuk. Bada magrib awalnya saya hendaknya pergi ke pengajian. Karena ada sms itu kebetulan sy dititipin barang penting, sy bergegas menemui kawan dan menitipkan amanat lalu mohon izin. Setelah itu langsung meluncur ke RSHS.

Seminggu sebelumnya, hari Rabu (31/3), saya ke Melongasih menemui ayah. Rasa sesak diderita ayah membuatku bergegas meninggalkan kesibukan di pekerjaan tuk menemani ayah pergi ke dokter. Tapi ayah mengatakan bahwa dirinya merasa sehat. Ia berujar bahwa beliau akan chek up di Subang saja, sekalian, karena hari Minggu ada yang hajatan kerabat. Pada kesempatan ini saya sengaja membundel karya-karya ayah juga saudara2ku dan saya sendiri berupa karya tulis barakatak (humor) di Mangle untuk diberikan pada ayah. Ayah pun membaca karyanya dalam bundel itu dengan sesekali tersenyum.

Tiba-tiba ayah menawarkan burung parkit piaraannya untukku. Katanya kasihan, selalu ditinggal ayah. Tapi kutolak halus, karena jangankan burung makanannya khas kunyit, yang makan beras saja seperti tekukur atau puter aku kewalahan. "Kalo begitu, ayah berikan pada cucu di Subang aja," ujarnya. "Oh, betul. Bagus!" kataku. Sepasang burung parkitpun dibawa ke Subang untuk salah satu cucunya.

Sepulang ibadah haji, 2005 Ayah tinggal di Melongasih, Cimahi. Ia berencana pulang kampung sebentar untuk memenuhi undangan kerabatnya di hari Minggu (7/4) sambil berobat ke dr. Husni di Subang. Di Pagaden, ayah sempat berkumpul dengan kerabat dan kawan lama. Di hari Sabtu, ayah pun sempat mengecat kamar khusus untuk pulang kampung, sebab sisanya dibuat kamar-kamar dan dikontrakan. Di hari Minggu sempat memenuhi undangan pagi dan sore kenduri. Sebuah pulang kampung "pamitan" bagi kerabat dan kenalan di kampung halamannya.

Tiba jam 19.30 di UGD RSHS, saya menemui ayahku di ruang resitusi 6. Di sana ada ibuku, Saudara2ku menunggu di luar, karena penunggu dibatasi satu orang. Ayah menyapa seraya tersenyum. "Kehujanan dimana?" kata Ayah sembari menahan rasa sakitnya mencoba tersenyum padaku. "Dari Cicaheum. Hujan besar sekali dan macet! Tapi sudah biasa," kataku. Berdasarkan keterangan saudaraku, kondisi ayah drop sejak di Subang. Tapi ayah menyembunyikan kondisi itu dengan tenang. Untunglah kakakku di Lembang meluncur menjemput ayah. Itu berawal dari laporan ibu yg tanpa sepengetahuan ayah menginformasikan kondisi ayah di kampung halamannya.

Hari itu semua kamar rawat penuh. Ayahpun sempat berujar, "Gimana dan, sudah ada kamar rawat?" Aku menggangguk. Ayah pun memejamkan matanya. Ia menahan sakit amat. Tapi terbangun lagi. Aku yakinkan kamar pasti dapat dan ayah banyaklah berdoa agar semua lancar. Satu kekaguman, dibalik rasa sakit ayah tegar, terus berdoa dengan mengucapkan kalimat dzikir, allohu akbar, astagfirulloh dan laa ilaaha illalloh. Ketenangan dan rasa sabar ayah kusaksikan sendiri.

Dalam diagnosa dokter, pembuluh darah ayahku dua tersumbat dan harus dilakukan tindakan segera. Saudara2ku bermusyawaroh dan setuju untuk memberikan upaya maksimal bagi keselamatan ayah. Jam 21.00, saya ditemani kakak pertamaku mambawa ayah ke ruang tindakan (kamar operasi). Di sini ayah mengalami pemerikasaan EKG lagi.

Tiba-tiba tim dokter memberikan informasi bahwa ketiga pembuluh darah di jantung ayah sudah 99% tersumbat. Cara satu-satunya pemasangan ring (katarsis) melalui pembuluh darah setelah melalui pembukaan pembuluh dengan memasukan balon. Meski biaya cukup mahal, sesuai komitmen awal, demi terbaik bagi ayah, kami sepakati. Dengan cara ini, kalau berhasil penderita jantung koroner akan merasakan lebih baik. Sebaliknya, tingkat kegagalan pun tinggi juga 50: 50. Begitulah keterangan tim dokter. Aku dan kakakku menyetujui dan menandatangani surat itu.

Hampir satu jam ditemani anak-anaknya, ayah melewati pembukaan pembuluh darah melalui pemompaan balon. Kami berdoa memohon kepada Alloh SWT. Tiba-tiba kepala tim keluar dan mengutarakan bahwa pembuluh ayah terlalu kecil tidak memungkin dimasukan ring dan jantungnya sangat lemah. Sambil meninggalkan kami, dokter berkata: Hanya mukjizat yang bisa menyembuhkan.

Kami langsung meminta izin. Tim dokter mengatakan, secara medis kondisi ayah sudah dikatakan berhenti. Artinya gerakan nafas ayah hanya ditopang alat. Kami pun memutuskan untuk mencabut alat-alat itu. Ayah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Allohummajurni fii musibatii waakhlifhi khorium minha..." Kami semua tegar, termasuk ibuku. Tidak ada histeris, meskipun sisi manusiawi membawa kami meneteskan air mata. Kami pun mengucapkan trimakasih kepada tim dokter yang telah berjuang sekuat tenaga. Manusia hanya berupaya, tapi Alloh SWT yang menentukan.

Berita pun cepat tersiar, termasuk ke karabat ayah di kampung dan kolega di berbagai tempat. Kami minta segera jenazah ayah dibawa pulang untuk dimandikan di rumah. Proses pun tak lama, saya dan kakakku menandatangani administrasi dari kamar jenazah dan langsung dibawa ambulans.

Saya, dan saudara2ku ikut memandikan, mengafani, menyalati hingga memakamkan. Insya alloh, Ayah meninggal dalam husnul khotimah. Ucapan dizikir terlontar dari bibir ayah, saya saksikan sendiri hingga akhir hayatnya. Ayah disolati lebih dari 500 jamaah dalam beberapa shif yang sengaja datang tuk mengantar kepergiaan ayah. Perjalanan hidup ayah (terdokumentasi di blog ini : Kisah Ayah di Intisari dan Kisah Ayahku di Seri Galamedia-) penuh kesederhanaan, sopan dalam bertutur, tidak pernah marah, optimis, juga hamba taat.

Sederhana membuat ayah selalu realistis. Ayah tidak pernah bermimpi muluk-muluk dalam hal keduniawiaan. Ayah cukup bangga dengan radio lamanya dan tipi hitam putih yang nongkrong bertahun-tahun. Ayah lebih mementingkan urgensi fungsi ketimbang seni bila membeli barang atau perabotan. Ayah tidak pernah memiliki sepeda atau motor, sehingga anak-anaknya hampir semuanya tidak cakap mengendarainya sebelum mampu membelinya sendiri. Ini karena ada pesan ayah,"jangan mengendarai kendaraan orang lain kalau belum punya sendiri," Ayah pun pandai menabung. Tapi ia tidak kenal bank, insya alloh tidak memiliki utang sesuai prinsip dipegang teguh ayah. Ia menyimpan diberbagai tempat yang tidak mencurigakan (terdokumentasi di Majalah  Intisari Cara unik Ayah Menabung). Sepeninggal ayah, banyak kotak-kotak berisi recehan dan uang ribuan disimpan di tempat-tempat tertentu.

Sopan dalam bertutur, membuat ayah amat dirindukan cucu-cucunya. Juga masyarakat di kampung halaman dan tempat tinggalnya di Bandung. Semua cucunya merasa kehilangan sosok kakek yang cukup hangat dengan humornya, suka memberi hadiah dan pandai bercerita menghibur insan-insan kecil.

Optimis, meskipun kondisi finansial terbatas, sebagai tukang cukur tradisional, ayah berhasil melahirkan satu orang profesor, satu orang doktor, satu orang magister dan sisanya sarjana S1. Semua ini berkat kerja keras ayah dan tentunya izin Yang Mahakuasa.

Bersyukur dan berderma, ayah selalu mengucapkan tahmid dan alhamdulillah jaza kumullohu khoirooh, sebagai rasa syukur pada sesama insan dan mendermakan harta dimilikinya baik di lingkungan tetangga maupun kerabatnya di kampung. Bahkan rela ngebosi keperluan saudara-saudaranya kurang beruntung.

Tapi untuk urusan masa depan, ayahku seorang futuristik (menjangkauuuu jauhh ke depan). Ayahku bertekad menyekolahkan anaknya sampai mentok (dari segi biaya), alhamdulillah beberapa anaknya sampai ke jenjang paling tinggi di S3. Termasuk do'anya ingin menunaikan ibadah haji, sesuatu yg hampir mustahil di mata manusia, jikalau melihat sisi materi belaka, tapi tidak dimata Alloh. Alloh memberangkatkan melalui kado putra/i-nya, sehingga ayah dan ibu bisa menunaikan rukun Islam kelima di thn 2005.

Itulah kisah tentang ayah, bukan maksud kami menyombongkan diri, sesungguhnya yang berhak sombong itu hanyalah Alloh SWT dengan sifatnya Al-Mutakabbir. Tapi terbersit tuk berbagi segenggam kisah menginspirasi bagi sesama insan bahwa hidup ini butuh kerja keras dan perjuangan, tetapi harus rendah hati (tawadhu), hati-hati (mutawarik) dan tentu tidak melupakan ibadah kepadaNya.

Kami mohon maaf atas kesalahan dilakukan ayah selama hidupnya yang mungkin tidak berkenan terutama tetangga dan kawan-kawannya. Insya alloh, ayah telah memaafkan lebih dulu kesalahan saudara.

Ya Alloh. Ampunilah segala dosa, kesalahan dan khilaf ayahku. Terangilah alam kuburnya. Berilah kemulyaan dan tempatkanlah di tempat terhormat dan terpuji.

Penulis, Dadan Wahyudin (anak kelima)




Pesan Duka (dedicated to my grandfather)


karya Edmar Hoirurrijal (cucu anak putri keduanya)


Saat langit menghitam
Kukumandangkan sebuah pesan ke segala penjuru
Agar do'a terpanjat untuk seorang pahlawan
Pahlawan yang terbaring tak berdaya

Tak jauh jarum jam bergeser
Langit menangis diiringi nyanyian sendu para pemuja
Ia yang berjasa
Ia yang tercinta
Kini telah pergi untuk selamanya

Banjir air mata suci telah hadir
Nyanyian sendu nan syahdu berisi do'a telah bergema
Untuk dirinya yang telah berjuang
Hadapi duri kehidupan dan hasilkan mutiara-mutiara terindah

Malaikat...
Tolong jaga dirinya hingga menghadap
Ajarannya melekat dalam jiwa kami tuk beramal
Hadapkan dirinya pada keselamatan
Katakan pada dirinya
Setiap insan cepat atau lambat bakal menyusulmu

Penulis Kumpulan Puisi "Cermin Hati", Celtics : 2000