PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Selasa, 25 Mei 2010

Tentang Jalan Emosi


Share Sunday, 25 April 2010 at 23:43

Ketika kau tahu betapa mudahnya bagi seorang remaja
Remaja layaknya kita semua menemukan rasa dan sulit tuk hilangkannya
Layaknya sebuah tsunami yang telah meluluh lantahkan bumi
Memang tak terlihat air lagi namun terlihatkah puing-puing luka di wajah mereka


Sama layaknya kita sebagai remaja
Remaja yang tak pernah tahu apa yang harus dilakukan
Ketika mereka putus asa
Apakah harus memotong jari-jari mereka
Menyiapkan tali lalu bergantung dengan leher di tali tersebut
Ataukah terjun bebas tanpa parasut dari sebuah sutet
Hanya waktu yang dapat tersenyum melihat akhir dari sebuah nyawa

Ketika semua orang terdiam dan mentap takut
Seorang pemberani yang bodoh terjun bebas dari atas langit tempat menatap
Menghabiskan seluruh nafas yang tersisa tuk masuk ke dalam neraka
Pergi dan siap tuk dapatkan penderitaan yang lebih hebat
Salutkah kalian ?

Semua yang terjadi hanyalah karena rasa
Rasa yang tak dapat kita mengerti sebagai remaja
Rasa yang semua orang kagumi
Rasa yang semua orang nikmati
Dan rasa yang semua orang benci

Ketika mereka datang tak perlu kita beri surat tuk ia datang
Ketika ia pergi tak perlu kita menendang sekuatnya agar ia tak kembali
Lebah tak peduli dengan bunga yang indah ataupun buruk
Ia hanya merasakan madu mana yang ia akan dapatkan lebih banyak

Hingga sekarang apakah remaja mengerti ?
Apakah remaja tak menyendiri ketika gagal akan rasa itu ?
Apakah mereka kembali ingin rasakan itu ?
Semua yang terjadi hanyalah karena emosi
Emosi yang kita kutuk
Emosi yang kita banggakan
Dan Emosi yang terdiam dan tertawa karena semua yang kita lakukan

Penulis, Edmar Hoirurrijal, cucu, tinggal di Cijerah

PEMBELAJARAN 50 TAHUN PERNIKAHAN BAPAK DAN EMIH


Oleh: Hj. Tati Rahmayati

Dengan izin Alloh SWT, insya Alloh pada Rabu, 24 Februari 2010, usia pernikahan Bapak H. Handi Junaedi dan Emih Hj. Suaebah genap 50 tahun.

Tentu, ajaran Islam tidak mengenal perayaan ulang tahun. Tapi ada makna terpancar dari perjalanan panjang yang telah dijalani Bapak dan Emih sebagai nasihat dan pembelajaran cukup dahsyat dan menggugah bagi kita sebagai generasi selanjutnya tentang bagaimana rahasia meracik kehidupan rumah tangga Bapak dan Emih bisa kokoh, dinamis dan inspiratif.

Bagi saya yang genap 10 tahun (Nopember 2009 nanti) membangun rumah tangga sangat terinspirasi oleh perjalanan Bapak-Emih dalam motivasi, memberi energi positif dan mutawarik. Sosok keluarga dibangun bersahaja, optimis, terbuka dan hati-hati.

Kalau dicermati membangun rumah tangga itu bisa gampang dan susah. Bila diibaratkan seorang nakoda kapal dibantu asistennya, di samping harus pandai membaca arah tujuan, juga harus mampu memberi ketenangan dan kenyamanan kepada seluruh penumpang, sehingga kapal dapat berlabuh dengan selamat. Dalam perjalanan, kadangkala biduk pun terombang-ambing oleh terpaan angin taufan atau gelombang, bahkan kegaduhan di kalangan penumpang bisa mengganggu perjalanan.

Akan tetapi, bila masing-masing kru kapal egois, ingin tampak lebih superior dan tidak mau mengalah, niscaya kapal bisa karam sebelum menjangkau dermaga. Begitu pula rumah tangga karena hakikatnya menyatukan dua karakter individu berbeda. Hal itu bisa dilewati Bapak-Emih sehingga mampu melahirkan putra/i yang cerdas, taat, dan religius.

Perjalanan mengasuh, mendidik, dan merawat 8 putra/i, di tengah segala keterbatasan dan hambatan, Bapak-Emih bisa membebaskan tradisi kolot yang membelenggu masyarakat dulu. Bapak dan Emih sekuat tenaga memasukan putra/i nya ke sekolah formal, juga dijalur informal seperti: pengajian dibarengi sentuhan-sentuhan teladan sehingga menjadi cermin bagi kami. Cermin bagi sekitarnya.

Kesabaran, keteguhan dan ketelatenan begitu membumi. Tak pernah sekalipun raut wajah Bapak dan Emih merefleksikan rona marah atau kecut, tetapi selalu tersenyum menandakan rasa optimis luar biasa. Saya sendiri tak pernah mendengar perselisihan, percekcokan atau ungkapan nada tinggi yang terlontar.

Kalaupun ada sesuatu tidak suka, Bapak dan Emih lebih memilih diam, bukan mencerca, menghina atau mengumpat. Dengan begitu, segala riak kembali sejuk. Subhanalloh....

Itulah mahakarya pembelajaran bagi saya khususnya, juga bagi saudara yang lain untuk tak segan menimba pengalaman sebagai cermin bagi kita.

Tati Rahmayati,
tinggal di Surabaya.


Sumber; Booklet KBHJ, Edisi Juni 2009

MENGGAGAS KETAHANAN EKONOMI DALAM KBHJ


oleh: H. Ade Muhtar

Awal Agustus 2008, kita mendapat khabar gembira dengan pernikahan Luki, 5 Agustus 2008. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga besar orang tua kita, Bapak H. Handi Junaedi dan Ibu Hj. Suaebah telah menginjak ke generasi ketiga dan membuktikan betapa besar potensi dimilikinya.

Kabar sejuk lainnya adalah diterimanya Edisty di Farmasi ITB (kemudian memilih STAN Jakarta) dan Novita di Jurusan Bahasa Daerah UPI Bandung. Sebagai pertanda bahwa di masa mendatang akan lahir tambahan akademisi sehingga kian warna-warni.

Jika mulanya, keluarga kita mengarah pada dunia pendidikan dengan tampilnya generasi awal sebagai guru, dosen dan pakar pendidik, tren perkembangan kini amatlah berbhineka. Dalam sepuluh tahun ke depan bolehlah kita berharap, dalam KBHJ telah memiliki dokter, apoteker, ekonom, arsitek, jurnalis, pengusaha atau profesi lainnya.
Potensi besar tsb tentu sangat baik apabila dikelola dengan semangat kekeluargaan untuk memajukan keluarga besar kita khususnya maupun masyarakat umumnya. Syukur alhmadulillah gayung pun bersambut, rencana pendirian Usaha Bersama (UB) dalam keluarga besar kita telah terealisasi dengan berdirinya: Lotus Digital cabang Gg. Cempaka UPI Bandung, kemudian bermetamorfosa men-jadi UPIANA.

Kita berharap, UPIANA hanyalah suatu awal dari perjalanan panjang ke depan, karena kita menyadari bahwa tantangan ke depan semakin beragam dan semakin berat. Sebagai ilustrasi di bidang ketersediaan tenaga kerja, jika di tahun 1980-an, kakak kita H. Didi Suherdi dan Hj. Siti Maryam demikian mudahnya mendapatkan pekerjaan sebagai PNS, tidak demikian dengan generasi berikutnya. Setidaknya kita telah mempersiapkan suatu lapangan kerja yang dapat bermanfaat bagi keluarga kita maupun masyarakat pada umumnya.

Kita tentu sepakat bahwa kita tidak menjumpai kesulitan berarti saat kita menyelesaikan sedemikian rumitnya soal-soal dari SD hingga bangku kuliah. Kemampuan menyelesaikan masalah tersebut akan sangat berarti lagi jika kita mampu dapat bermanfaat bagi lingkungan, masyarakat dan bangsa ini pada umunya dengan penyediaan lapangan tenaga kerja.

Kisah sukses suatu keluarga dalam pengelolaan usaha telah demikian banyak. Nepotisme yang dikembangkan dengan baik telah melahirkan banyak keluarga sukses. Dalam skala nasional kita bisa melihat keluarga Bakrie, Kalla, Gudang Garam, Sampoerna, merupakan contoh menginspirasi kita. Dalam skala kecil (skala pagaden), Yayasan Syukur Sejahtera mengelola SMA Sejahtera Pagaden dimana 91% sahamnya dikuasai dua keluarga. Untuk itu sudah saatnya kita mengambil peran.

Kita pun berharap, keluarga besar dengan anggota penuh warma, adalah dinamika dan modal luar biasa. Dengan berhimpun dalam wadah ekonomi, bukan hanya mampu memberi peluang dan kesempatan lapangan kerja, juga mempererat silaturahim, pada akhirnya memperkokoh ketahanan ekonomi keluarga. Bersatu menggapai cita dalam rido Alloh. (**)

Penulis, putra kelima, praktisi ekonomi, dan tinggal di Jakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

DIBANJUR CAI ANGEUN HASEUM


Ku: Pupu Marfuah

Kuring sakola di tsanawiyah, ari adi kelas lima SD. Harita keuheul pisan ka adi, basa dititah meuli bahan kueh ka pasar teu nurut. Dipaksa-paksa oge kalah murengkel meulit kawas oray sanca, teu daek indit. Antukna aya cai sesa angeun haseum sisi meja diguyurkeun kana sirahna. Puass siah..

Kapaksa eleh deet, kuring miang ka pasar, panas ereng-erengan oge. Meuli bahan kueh, lumayan keur nambah-nambah biaya sakola. Kuring anteng nyieun kueh, ti mimiti ngocok endog, nyampurkeun tarigu nepi ka ngopen kueh.

Ari ras inget adi, gebeg..kuring reuwas asa boga dosa. Kuring langsung muka panto kamar, tapi adi teu kasampak. Kuring tatanya ka tatangga susuganan kawenehan jeung adi kuring, tapi weleh teu aya nu nyahoeun. Kuring ngagidig muru sobat dalitna, si Mustopa, tapi cenah geus lila tara ulin ka ditu.

Kamana atuh adi kuring teh? Kuring bingung, hanjakal sagede gunung. Naha ku naon atuh bet ngabanjur sirah adi ku cai angeun? Pasti ngambek, pundung terus kabur…
Deudeuh adi… hampura Eceu! Eta bakating kalangsu ku kesel!” gerentes hate. Teu karasa cai panon merebey maseuhan pipi. Kumaha pijawabeun kuring lamun Bapa jeung Emih seug mulang ti ondangan?

Wanci sareupna, rentang-rentang katingal adi kuring balik mapay galeng sawah bari niir belut opat siki.

“Tuh…si Wahyu, Pu!” ceuk wa Ami bari nunjuk ka adi kuring.

“Wahyuu..”si Endang mang Ucim mah ngagorowok. Barudak nu ngagimbung surak eak-eakan milu bungah pedah si Wahyu geus kapanggih. Gabrug nangkeup adi kuring bari sasadu dumareda.

“Hapunteun Eceu, nya. Eceu jangji moal rek sakali-kali deui deleka ka hidep,” ceuk kuring bari nyusut cimata. Ari si Wahyu ngan hulang huleng wae teu ngarti aya naon mani ibur salembur ear sajagat, manehna jiga pahlawan bae. Malah si Entin, si Nunung, jeung si Ikoh mah teu eureun-eureun nyebutkeun cenah, “Hidup wahyu… hidup wahyu…”

“Abdi mah ti bada sakola ge tos niat bade ngurek belut. Tah ieu belutna kenging opat,” cenah ngomongna polos ngaleos ka jamban tukangeun imah rek ngolahan belut.

Ayeuna si Wahyu geus jadi bos fotokopi. Lamun pareng botram atawa parasmanan dina acara arisan kulawarga sok mindengan sindir-sampir,”Kade ah bahe angeun teh ka mastaka abdi.” Kuring saukur mesem.

Pupu Marfuah
Gg. Campaka- Gerlong Girang
Isola - Bandung

(dimuat di Mangle No. 2213 hal 68).

PRAMUKA


oleh: Edistia Maulida Sholihah

Panas terik sang surya membakar kami, para Pramuka Penggalang. Ingin pingsan rasanya. Kulitku semakin legam. Suara kakak instruktur seakan memekak telinga. Rekan-rekan tampak bersemangat berlatih, kecuali aku.

Hampir sebulan sudah aku ikut ekskul ini. Bosan. Ingin aku keluar saja. Tapi gimana kata teman-teman? Aku kan pemimpin regu.

Aku lemas dan tak bersemangat. Saat perjalanan pulang, Dinan kawanku mencoba menghiburku. Tak disadari meluncur ucapan:
“Eh, Dinan. Keluar Pramuka, yuk?”
“Keluar? Mengapa?” Dinan kaget dan balik bertanya.
“Nggak, aku cuma malas saja..” seruku.
“Malas? Siapa suruh masuk Pramuka? Lebih baik berkata tidak sejak awal,” ucap Dinan kesal.
“kenapa begitu bicaranya, kak?” seruku gemetaran, takut Dinan tersinggung.
“Nggak! aku hanya kesal. Kamu tidak tahu bahwa Pramuka banyak manfaatnya..” jelasnya. “Manfaat? Manfaat apa?”
“ Agar kita berdisiplin, mandiri, dan lain-lain..”
“Resikonya?” tuturku.
“Capekkk!” kata Dinan dengan nada tinggi. Aku terdiam. Aku ingin minta maaf tapi mulutku terkunci. Sepanjang perjalanan kami berdua saling membisu.

Hari Sabtu aku mencari Dinan. Tapi tidak kutemukan. Hingga kudapatkan di ruang aula.
“Ada apa mencariku?” ujar Dinan sinis.
“Aku tidak jadi keluar pramuka. Aku minta maaf membuatmu kesal,” kataku.

Ia terdiam. Ia tersenyum padaku.

“Aku juga minta maaf telah kesal padamu..” kata Dinan. Aku menggeleng. Aku memahami bahwa Pramuka bermanfaat memberi kecakapan hidup bagi generasi muda. Ayah dan ibuku dulu aktif di Pramuka. Tak heran hingga kini dikenal ulet, rajin dan disiplin. Hingga tak kusadari kukepalkan tanganku dan berteriak, “Hidup Pramuka,”.

Edistia Maulida Solihah,
Pemenang III Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang

Penulis, cucu, putri kelima, keluarga putri kedua, tinggal di Melongasih.

Sumber:
Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

MERAIH CITA-CITA


oleh: SUMAYA FUADANA

Cita-cita saya ingin menjadi penulis. Mengapa? Karena saya melihat seorang penulis memiliki kebanggaan, apalagi tulisannya disenangi oleh penggemarnya.

Menjadi penulis itu merupakan suatu keharusan bagi saya. Saya lebih suka novel terjemahan dibanding novel Indonesia. Menurutku, novel terjemahan lebih terbuka tentang kehidupan remaja. Maka dari itu saya ingin membuat karya lebih bagus dari novel terjemahan.

Bila ingin menjadi penulis, saya harus tahan menghadapi kritikan dari publik karena pasti ada orang memuji, menghargai tapi tidak sedikit yang kecewa bahkan mengeritik pedas. Sebagai penulis kritik adalah bentuk pelajaran bagi kita supaya kita berkarya lebih baik lagi.

Maka dari itu, saya meminta kritikan bagi tulisan ini. Dengan dorongan dan pelecut diri mendorong saya untuk memperbaiki diri, tahan banting dengan terus berkarya.

Sumaya Fuadana
Pemenang II Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang

Penulis, cucu anak keempat putra pertama H. Handi J tinggal di Lembang
Sumber: Booklet KBHJ Edisi Juni 2009

AGAR BERAT BADAN JANGAN NAIK TERUS


Berat badan saya sudah lebih dari 45 kg. Tapi tinggi saya nggak naik-naik. Dalam satu bulan badan bisa naik sampai 1,5 kg, tapi tinggi tidak naik 0,5 mm pun. Pertumbuhan malah ke samping bukan ke atas. Makanya badan saya terlihat bulat kayak bola pingpong.

Ingin berat badan kamu terus naik? Ikuti kebiasa-an saya di bawah ini!

Bila abis bangun tidur langsung makan diteruskan ngemil. Lalu makan lagi dan ngemil lagi hingga sore hari.
Hindarilah diet karena bisa membuat berat badanmu turun. Makanlah makanan yang banyak mengandung lemak tapi tetap harus sehat.

Itu dulu. Sekarang sadar, lho! Agar sehat perbanyaklah makanan empat sehat lima sempurna. Ingat!!! Jangan terlalu banyak ngemil karena akan menyebabkan gendut. Gendut itu nggak sehat. Gendut itu berbahaya dan kurang sedap dipandang mata, kan yah?

Kalo emang gak mau gendut ya syaratnya cuma satu yakni diet. Tapi ingat kalo diet harus yang benar. Pertama kita harus rutin sarapan. Banyaklah sayuran dan buah-buahan, juga minum air putih dan olahraga. Makan daging sekali-kali boleh, tapi bagusnya ikan. Kalo gak makan seharian alias puasa terus itu bukan diet tapi “Neangan Panyakit”.

Berliani Nuraghniya
Cucu, Anak kedua Putri Ketiga
Pemenang I Lomba Mengarang dalam Arisan Keluarga 12 April 2008 di Rumah H. Cecep-Lembang


Sumber: Dimuat di Booklet KBHJ Edisi Juni 2009