PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Sabtu, 01 Mei 2010

Ayah Penuh Optimis dan Bersahaja itu telah Pergi

Ayahku, H. Handi Junaedi, sosok ayah yang tangguh dari 8 anak, 39 cucu & 1 cicit telah meninggalkan kita, hari Selasa, 6 April 2010 pukul 22.30 WIB (usia 68 tahun) di RSHS Bandung. Sosok insan yang taat, sederhana, murah senyum dan optimis adalah sumber inspirasi dan figur bagi anak cucunya bahkan masyarakat di sekelilingnya. Hari-hari terakhir saya bersama ayahku, kuungkapkan dalam notes ini melengkapi tulisan saya sebelumnya dimuat di beberapa media cetak (dapat diakses di notes fb ini), sebagai ungkapan hati, sharing dan memberi pesan positif bagi keluarga muda sepertiku.

Hujan rintik-rintik di hari Selasa, 6 April 2010. Adan Magrib baru saja usai. Sehabis mengambil air wudu untuk salat Magrib, saya melihat hp nada deringnya "diam" itu menyala, pertanda ada sms masuk. Setelah kubuka, dari kedua kakak perempuanku menerangkan bahwa ayah sedang berada di UGD RSHS. Sms terus menerus masuk. Bada magrib awalnya saya hendaknya pergi ke pengajian. Karena ada sms itu kebetulan sy dititipin barang penting, sy bergegas menemui kawan dan menitipkan amanat lalu mohon izin. Setelah itu langsung meluncur ke RSHS.

Seminggu sebelumnya, hari Rabu (31/3), saya ke Melongasih menemui ayah. Rasa sesak diderita ayah membuatku bergegas meninggalkan kesibukan di pekerjaan tuk menemani ayah pergi ke dokter. Tapi ayah mengatakan bahwa dirinya merasa sehat. Ia berujar bahwa beliau akan chek up di Subang saja, sekalian, karena hari Minggu ada yang hajatan kerabat. Pada kesempatan ini saya sengaja membundel karya-karya ayah juga saudara2ku dan saya sendiri berupa karya tulis barakatak (humor) di Mangle untuk diberikan pada ayah. Ayah pun membaca karyanya dalam bundel itu dengan sesekali tersenyum.

Tiba-tiba ayah menawarkan burung parkit piaraannya untukku. Katanya kasihan, selalu ditinggal ayah. Tapi kutolak halus, karena jangankan burung makanannya khas kunyit, yang makan beras saja seperti tekukur atau puter aku kewalahan. "Kalo begitu, ayah berikan pada cucu di Subang aja," ujarnya. "Oh, betul. Bagus!" kataku. Sepasang burung parkitpun dibawa ke Subang untuk salah satu cucunya.

Sepulang ibadah haji, 2005 Ayah tinggal di Melongasih, Cimahi. Ia berencana pulang kampung sebentar untuk memenuhi undangan kerabatnya di hari Minggu (7/4) sambil berobat ke dr. Husni di Subang. Di Pagaden, ayah sempat berkumpul dengan kerabat dan kawan lama. Di hari Sabtu, ayah pun sempat mengecat kamar khusus untuk pulang kampung, sebab sisanya dibuat kamar-kamar dan dikontrakan. Di hari Minggu sempat memenuhi undangan pagi dan sore kenduri. Sebuah pulang kampung "pamitan" bagi kerabat dan kenalan di kampung halamannya.

Tiba jam 19.30 di UGD RSHS, saya menemui ayahku di ruang resitusi 6. Di sana ada ibuku, Saudara2ku menunggu di luar, karena penunggu dibatasi satu orang. Ayah menyapa seraya tersenyum. "Kehujanan dimana?" kata Ayah sembari menahan rasa sakitnya mencoba tersenyum padaku. "Dari Cicaheum. Hujan besar sekali dan macet! Tapi sudah biasa," kataku. Berdasarkan keterangan saudaraku, kondisi ayah drop sejak di Subang. Tapi ayah menyembunyikan kondisi itu dengan tenang. Untunglah kakakku di Lembang meluncur menjemput ayah. Itu berawal dari laporan ibu yg tanpa sepengetahuan ayah menginformasikan kondisi ayah di kampung halamannya.

Hari itu semua kamar rawat penuh. Ayahpun sempat berujar, "Gimana dan, sudah ada kamar rawat?" Aku menggangguk. Ayah pun memejamkan matanya. Ia menahan sakit amat. Tapi terbangun lagi. Aku yakinkan kamar pasti dapat dan ayah banyaklah berdoa agar semua lancar. Satu kekaguman, dibalik rasa sakit ayah tegar, terus berdoa dengan mengucapkan kalimat dzikir, allohu akbar, astagfirulloh dan laa ilaaha illalloh. Ketenangan dan rasa sabar ayah kusaksikan sendiri.

Dalam diagnosa dokter, pembuluh darah ayahku dua tersumbat dan harus dilakukan tindakan segera. Saudara2ku bermusyawaroh dan setuju untuk memberikan upaya maksimal bagi keselamatan ayah. Jam 21.00, saya ditemani kakak pertamaku mambawa ayah ke ruang tindakan (kamar operasi). Di sini ayah mengalami pemerikasaan EKG lagi.

Tiba-tiba tim dokter memberikan informasi bahwa ketiga pembuluh darah di jantung ayah sudah 99% tersumbat. Cara satu-satunya pemasangan ring (katarsis) melalui pembuluh darah setelah melalui pembukaan pembuluh dengan memasukan balon. Meski biaya cukup mahal, sesuai komitmen awal, demi terbaik bagi ayah, kami sepakati. Dengan cara ini, kalau berhasil penderita jantung koroner akan merasakan lebih baik. Sebaliknya, tingkat kegagalan pun tinggi juga 50: 50. Begitulah keterangan tim dokter. Aku dan kakakku menyetujui dan menandatangani surat itu.

Hampir satu jam ditemani anak-anaknya, ayah melewati pembukaan pembuluh darah melalui pemompaan balon. Kami berdoa memohon kepada Alloh SWT. Tiba-tiba kepala tim keluar dan mengutarakan bahwa pembuluh ayah terlalu kecil tidak memungkin dimasukan ring dan jantungnya sangat lemah. Sambil meninggalkan kami, dokter berkata: Hanya mukjizat yang bisa menyembuhkan.

Kami langsung meminta izin. Tim dokter mengatakan, secara medis kondisi ayah sudah dikatakan berhenti. Artinya gerakan nafas ayah hanya ditopang alat. Kami pun memutuskan untuk mencabut alat-alat itu. Ayah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Allohummajurni fii musibatii waakhlifhi khorium minha..." Kami semua tegar, termasuk ibuku. Tidak ada histeris, meskipun sisi manusiawi membawa kami meneteskan air mata. Kami pun mengucapkan trimakasih kepada tim dokter yang telah berjuang sekuat tenaga. Manusia hanya berupaya, tapi Alloh SWT yang menentukan.

Berita pun cepat tersiar, termasuk ke karabat ayah di kampung dan kolega di berbagai tempat. Kami minta segera jenazah ayah dibawa pulang untuk dimandikan di rumah. Proses pun tak lama, saya dan kakakku menandatangani administrasi dari kamar jenazah dan langsung dibawa ambulans.

Saya, dan saudara2ku ikut memandikan, mengafani, menyalati hingga memakamkan. Insya alloh, Ayah meninggal dalam husnul khotimah. Ucapan dizikir terlontar dari bibir ayah, saya saksikan sendiri hingga akhir hayatnya. Ayah disolati lebih dari 500 jamaah dalam beberapa shif yang sengaja datang tuk mengantar kepergiaan ayah. Perjalanan hidup ayah (terdokumentasi di blog ini : Kisah Ayah di Intisari dan Kisah Ayahku di Seri Galamedia-) penuh kesederhanaan, sopan dalam bertutur, tidak pernah marah, optimis, juga hamba taat.

Sederhana membuat ayah selalu realistis. Ayah tidak pernah bermimpi muluk-muluk dalam hal keduniawiaan. Ayah cukup bangga dengan radio lamanya dan tipi hitam putih yang nongkrong bertahun-tahun. Ayah lebih mementingkan urgensi fungsi ketimbang seni bila membeli barang atau perabotan. Ayah tidak pernah memiliki sepeda atau motor, sehingga anak-anaknya hampir semuanya tidak cakap mengendarainya sebelum mampu membelinya sendiri. Ini karena ada pesan ayah,"jangan mengendarai kendaraan orang lain kalau belum punya sendiri," Ayah pun pandai menabung. Tapi ia tidak kenal bank, insya alloh tidak memiliki utang sesuai prinsip dipegang teguh ayah. Ia menyimpan diberbagai tempat yang tidak mencurigakan (terdokumentasi di Majalah  Intisari Cara unik Ayah Menabung). Sepeninggal ayah, banyak kotak-kotak berisi recehan dan uang ribuan disimpan di tempat-tempat tertentu.

Sopan dalam bertutur, membuat ayah amat dirindukan cucu-cucunya. Juga masyarakat di kampung halaman dan tempat tinggalnya di Bandung. Semua cucunya merasa kehilangan sosok kakek yang cukup hangat dengan humornya, suka memberi hadiah dan pandai bercerita menghibur insan-insan kecil.

Optimis, meskipun kondisi finansial terbatas, sebagai tukang cukur tradisional, ayah berhasil melahirkan satu orang profesor, satu orang doktor, satu orang magister dan sisanya sarjana S1. Semua ini berkat kerja keras ayah dan tentunya izin Yang Mahakuasa.

Bersyukur dan berderma, ayah selalu mengucapkan tahmid dan alhamdulillah jaza kumullohu khoirooh, sebagai rasa syukur pada sesama insan dan mendermakan harta dimilikinya baik di lingkungan tetangga maupun kerabatnya di kampung. Bahkan rela ngebosi keperluan saudara-saudaranya kurang beruntung.

Tapi untuk urusan masa depan, ayahku seorang futuristik (menjangkauuuu jauhh ke depan). Ayahku bertekad menyekolahkan anaknya sampai mentok (dari segi biaya), alhamdulillah beberapa anaknya sampai ke jenjang paling tinggi di S3. Termasuk do'anya ingin menunaikan ibadah haji, sesuatu yg hampir mustahil di mata manusia, jikalau melihat sisi materi belaka, tapi tidak dimata Alloh. Alloh memberangkatkan melalui kado putra/i-nya, sehingga ayah dan ibu bisa menunaikan rukun Islam kelima di thn 2005.

Itulah kisah tentang ayah, bukan maksud kami menyombongkan diri, sesungguhnya yang berhak sombong itu hanyalah Alloh SWT dengan sifatnya Al-Mutakabbir. Tapi terbersit tuk berbagi segenggam kisah menginspirasi bagi sesama insan bahwa hidup ini butuh kerja keras dan perjuangan, tetapi harus rendah hati (tawadhu), hati-hati (mutawarik) dan tentu tidak melupakan ibadah kepadaNya.

Kami mohon maaf atas kesalahan dilakukan ayah selama hidupnya yang mungkin tidak berkenan terutama tetangga dan kawan-kawannya. Insya alloh, ayah telah memaafkan lebih dulu kesalahan saudara.

Ya Alloh. Ampunilah segala dosa, kesalahan dan khilaf ayahku. Terangilah alam kuburnya. Berilah kemulyaan dan tempatkanlah di tempat terhormat dan terpuji.

Penulis, Dadan Wahyudin (anak kelima)




Pesan Duka (dedicated to my grandfather)


karya Edmar Hoirurrijal (cucu anak putri keduanya)


Saat langit menghitam
Kukumandangkan sebuah pesan ke segala penjuru
Agar do'a terpanjat untuk seorang pahlawan
Pahlawan yang terbaring tak berdaya

Tak jauh jarum jam bergeser
Langit menangis diiringi nyanyian sendu para pemuja
Ia yang berjasa
Ia yang tercinta
Kini telah pergi untuk selamanya

Banjir air mata suci telah hadir
Nyanyian sendu nan syahdu berisi do'a telah bergema
Untuk dirinya yang telah berjuang
Hadapi duri kehidupan dan hasilkan mutiara-mutiara terindah

Malaikat...
Tolong jaga dirinya hingga menghadap
Ajarannya melekat dalam jiwa kami tuk beramal
Hadapkan dirinya pada keselamatan
Katakan pada dirinya
Setiap insan cepat atau lambat bakal menyusulmu

Penulis Kumpulan Puisi "Cermin Hati", Celtics : 2000