PERPUSTAKAAN KEL. BESAR H. HANDI JUNAEDI (KBHJ) ONLINE

Bersama Menggapai Cita

Selasa, 25 Mei 2010

PEMBELAJARAN 50 TAHUN PERNIKAHAN BAPAK DAN EMIH


Oleh: Hj. Tati Rahmayati

Dengan izin Alloh SWT, insya Alloh pada Rabu, 24 Februari 2010, usia pernikahan Bapak H. Handi Junaedi dan Emih Hj. Suaebah genap 50 tahun.

Tentu, ajaran Islam tidak mengenal perayaan ulang tahun. Tapi ada makna terpancar dari perjalanan panjang yang telah dijalani Bapak dan Emih sebagai nasihat dan pembelajaran cukup dahsyat dan menggugah bagi kita sebagai generasi selanjutnya tentang bagaimana rahasia meracik kehidupan rumah tangga Bapak dan Emih bisa kokoh, dinamis dan inspiratif.

Bagi saya yang genap 10 tahun (Nopember 2009 nanti) membangun rumah tangga sangat terinspirasi oleh perjalanan Bapak-Emih dalam motivasi, memberi energi positif dan mutawarik. Sosok keluarga dibangun bersahaja, optimis, terbuka dan hati-hati.

Kalau dicermati membangun rumah tangga itu bisa gampang dan susah. Bila diibaratkan seorang nakoda kapal dibantu asistennya, di samping harus pandai membaca arah tujuan, juga harus mampu memberi ketenangan dan kenyamanan kepada seluruh penumpang, sehingga kapal dapat berlabuh dengan selamat. Dalam perjalanan, kadangkala biduk pun terombang-ambing oleh terpaan angin taufan atau gelombang, bahkan kegaduhan di kalangan penumpang bisa mengganggu perjalanan.

Akan tetapi, bila masing-masing kru kapal egois, ingin tampak lebih superior dan tidak mau mengalah, niscaya kapal bisa karam sebelum menjangkau dermaga. Begitu pula rumah tangga karena hakikatnya menyatukan dua karakter individu berbeda. Hal itu bisa dilewati Bapak-Emih sehingga mampu melahirkan putra/i yang cerdas, taat, dan religius.

Perjalanan mengasuh, mendidik, dan merawat 8 putra/i, di tengah segala keterbatasan dan hambatan, Bapak-Emih bisa membebaskan tradisi kolot yang membelenggu masyarakat dulu. Bapak dan Emih sekuat tenaga memasukan putra/i nya ke sekolah formal, juga dijalur informal seperti: pengajian dibarengi sentuhan-sentuhan teladan sehingga menjadi cermin bagi kami. Cermin bagi sekitarnya.

Kesabaran, keteguhan dan ketelatenan begitu membumi. Tak pernah sekalipun raut wajah Bapak dan Emih merefleksikan rona marah atau kecut, tetapi selalu tersenyum menandakan rasa optimis luar biasa. Saya sendiri tak pernah mendengar perselisihan, percekcokan atau ungkapan nada tinggi yang terlontar.

Kalaupun ada sesuatu tidak suka, Bapak dan Emih lebih memilih diam, bukan mencerca, menghina atau mengumpat. Dengan begitu, segala riak kembali sejuk. Subhanalloh....

Itulah mahakarya pembelajaran bagi saya khususnya, juga bagi saudara yang lain untuk tak segan menimba pengalaman sebagai cermin bagi kita.

Tati Rahmayati,
tinggal di Surabaya.


Sumber; Booklet KBHJ, Edisi Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar